Tidak terkecuali ditanah tumpah darah kita, Bima. Spirit, nalar dan tabiat tirani kekuasaan itu tumbuh subur bersemai rapi di lingkaran kekuasaan. Spirit memperkaya diri, melanggengkan dinasti kekuasaan, serta menganggap remeh kepentingan rakyat yang telah mengantarkannya di pusaran kekuasaan mewarnai dan menjangkiti “isi otaknya” pelaku dan penikmat jabatan di tanah Bima. Nalar dan logika berpikir hanya untuk merumuskan kepentingan-kepentingan yang sporadis, sementara dan bersifat materi-transaksional. Tabiat dan prilaku kekuasaan terkesan menjadi pengayom dan pelindung rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, konspirasi, agitasi dan tindakan tirani kekuasaan yang tidak terkontrol oleh kekuatan manapun dengan mengatas-namakan “penguasa tunggal” era otonomi daerah menjadikan tanah Bima mengalami “kebangkrutan” dari berbagai segi. Spirit, nalar dan tabiat seperti ini sangatlah berbahaya, mengingat rakyat di tanah Bima sangatlah sensitif dan memiliki rasa kepekaaan terhadap kedaulatan, kehormatan dan pengamalan nilai-nilai keber-agama-an yang kuat yang bersendikan spiritualitas Islam.
Sejarah telah mencatat dan membuktikan, bahwa tirani kekuasaan mewarnai dinamika perpolitikan di tanah Bima, jauh sebelum jaman revolusi kemerdekaan ada, kita membaca sejarah yang telah diperankan oleh lingkaran kekuasaan bercorak monarki. Persekongkolan penguasa lokal, imperialis asing dan pemilik modal pada jaman itu mengakibatkan rakyat menderita berkepanjangan.
Prilaku tirani kekusaan mengalami klimaks dan melahirkan pembangkangan sipil dari rakyat akibat dari para pemangku jabatan mempertontonkan dan mempertuhankan kekuasaan. Perang Ngali, Perang Dena merupakan symbol perlawanan sipil dari rakyat yang memiliki rasa dan nalar kemerdekaan, kedaulatan, serta kehormatan atas keyakinan yang mereka anut.
Artinya prilaku tirani kekuasaan itu sudah ada sejak “nenek-moyang” dan sekarang tumbuh berkembang senada dan seirama dengan adanya kekuasaaan dipundak. Disamping itu, pembangkangan sipil oleh rakyat yang mengalami ketidak-adilan, keterbelakangan dan penindasan struktural dan kultural yang diperankan oleh lingkaran kekuasaan dapat menjadi “trigger” pemicu bom waktu pembangkangan sipil yang mengancam tanah tumpah darah kita, Bima.
Adanya kekuasaan yang kita dapati melalui mekanisme yang konstitusional seperti Pemilukada ataupun mekanisme lainnya merupakan hasil kepercayaan rakyat yang semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Walaupun tidak selamanya “stempel” kekuasaan itu cenderung negatif, banyak contoh kekuasaan itu dapat mensejahterakan, memberi kemaslahatan dan menciptakan keadilan. “Hendaknya keselamatan dan kepentingan rakyat menjadi hukum yang tertinggi”.
Fauzie A
Fauzie A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar