hubert-herald.nl
.
Gambar di atas adalah lambang kerajaan Sassanid Persia yang ditemukan di bangunan istana di Ctesiphon, Iraq. Berasal dari abad ke 6, lambang sepasang sayap merupakan simbol mandat surgawi, yang dalam hal ini diartikan sebagai klaim atas pemerintahan yang muntlak. Dipublish pertama kali pada tahun 1930. Lambang negara ini bertuliskan huruf Jawa kuno di dalamnya.
Segera setelah penemuan tersebut, Hamengkubuwono VII (1839-1831) mentranslasikan ke dalam lambang kesultanannya menjadi :
.
hubert-herald.nl
.
Kerajaan Sassanid runtuh saat invasi tentara Umar ibn al-Khattab ke Persia tahun 637.
Menarik untuk disimak, bahwa di abad ke-6, abad dimana Nabi Muhammad hidup, Jawa telah memiliki pengaruh di kerajaan Persia sedemikian rupa sehingga digunakan sebagai simbol kerajaan yang ditaruh di atas sayap yang berarti Pemerintahan Muntlak karena merupakan mandat surgawi.
Apakah sayap yang diartikan sebagai mandat surgawi berarti kerajaan Persia berguru pada orang Jawa? Ataukah orang Jawa bisa terbang? – ini hanya pertanyaan yang muncul di benak saya saja.
Berbagai literatur Cina menuliskan, bahwa pada tahun 664, di bawah dinasti Tang, pendeta bernama Huining pergi ke kerajaan Holing (Kalingga) untuk belajar agama kepada Jnanabhadra, seorang pendeta di Holing serta menterjemahkan berbagai ayat dari ajaran Buddha Hinayana. Pada masa-masa tersebut, Kalingga dipimpin oleh Ratu Shima, ratu yang dikenal di dunia dengan kejujurannya.
Kerajaan Jawa menyatakan kebesarannya dengan mendirikan bangunan berskala massif: Borobudur. Dibangun oleh kerajaan Mataram, tahun 770. Segala peristiwa yang mencatat kejadian di masa itu digambarkan jelas dan detail di dinding Borobudur. Bagaimana cara masyarakat Jawa membangun Borobudur? Bagaimana cara memotong batu-batu sehingga berbentuk kotak-kotak, dan mengukir dinding-dindingnya sedemikian halus dan detail? Peralatan apa yang digunakan?
Dalam sejarah Jawa, belum pernah terjadi adanya invasi besar-besaran yang berhasil menghancurkan kerajaan Jawa. Invasi Umar ibn al-Khattab yang meruntuhkan Persia, tidak meruntuhkan Kerajaan Jawa. Invasi Mongolia menaklukkan tiga perempat dunia tidak mampu menaklukkan Jawa. Bahkan, invasi tentara Belanda ke Jogjakarta pun tidak mampu bertahan lama.
Kerajaan Jawa tidak pernah benar-benar bisa dikuasai oleh bangsa lain. Namun Kerajaan Jawa memberikan pengaruhnya ke berbagai bangsa tanpa harus menyerangnya, tanpa menghancurkan bangsa lain dan tanpa merusak kebudayaannya. Padahal, Kerajaan Jawa bisa saja melakukan invasi. Namun tidak dilakukan. Invasi bukanlah gaya orang Jawa.
Konsep kerajaan Jawa adalah Mandala, atau pusat semesta, dalam arti pusat lokasi dan kehidupan berfokus pada pribadi rajanya. Raja Jawa dihormati sebagaimana pribadi semi-ilahi, merupakan kesatuan antara aspek kemanusiaan dan keilahian. (Wikipedia berbahasa Inggris).
Apakah karena orang Jawa pandai berdiplomasi? Atau kesimpulan orang asing itu benar, bahwa Raja Jawa merupakan kesatuan antara aspek kemanusiaan dan keilahian, sehingga semesta urun bergerak melindungi Kesultanan ?
Di awal berdirinya Republik Indonesia, petinggi negara berlindung di dalam Kesultanan Jogjakarta selama 4 tahun, yaitu sejak 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Sultan menjamin keselamatan seluruh petinggi pemerintahan Republik Indonesia dengan menempatkan mereka di dalam lingkungan kraton. Kesultanan Jogjakarta juga membiayai pemerintah Republik Indonesia yang masih baru lahir. Termasuk melakukan upaya pelunasan hutang pemerintah kepada Belanda sesuai dengan Perjanjian Meja Bundar, dimana transfer pemerintahan dari Belanda kepada Indonesia secara penuh mengakibatkan Indonesia harus membayar berbagai aset milik Belanda di Indonesia sebesar 4,3 miliar Guilder. (Wikipedia). Sebuah kemerdekaan yang mahal.
Dalam perkembangan pembangunan Indonesia, pernahkah anda menyadari, bahwa Indonesia tidak terbangun tanpa orang Jawa? Alasannya sederhana saja: tukang bangunan mayoritas adalah orang Jawa. Suku lain, secara umum tidak ada yang cukup memiliki kerendahan hati untuk bekerja menjadi tukang bangunan. Semua mau jadi bos. Jadi saudagar cengkeh. Jadi saudagar kelapa sawit. Jadi saudagar rumah makan. Jadi saudagar hasil tambang. Padahal, kalau semua maunya jadi bos, siapa yang membangun Indonesia?
Belakangan ini terlihat adanya berbagai upaya yang mencoba meruntuhkan Kesultanan Jogjakarta. Mulai dari upaya menutup Keistimewaan Jogjakarta. Melarang Sultan menggunakan gelar Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Menahan dan mencicil turunnya Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Terus terang sajalah: apa sebenarnya agenda utama dari berbagai upaya meruntuhkan Kesultanan Jogjakarta ini?
Cobalah belajar dari sejarah. Kerajaan Jawa tetap berdiri hingga saat ini bukan atas bantuan siapa-siapa. Kalau bukan karena semesta membelanya. Kalau bukan Pencipta Semesta sendiri yang berpihak padanya.
Esther W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar