Jumat, 26 Desember 2014

Pendeta Zwemer dan Imam Ahmadiyah

Ahmadiyah, Jamaah dalam Islam, meyakini Islam adalah agama da’wah (missionary religion), agama yang harus disebarluaskan kepada seluruh manusia. Islam adalah karunia dari Allah, hadiah yang harus dishare (dibagikan). Namun demikian, dalam pembagiannya (pengabaran dan penerimaannya) tiada paksaan di dalamnya. Jadi, intinya, “Ini adalah hadiah karunia dari Tuhan Pencipta Alam Semesta. Silakan menikmati karunia ini. Karunia ini baru dapat dirasakan keindahan dan kenikmatannya bila dengan penerimaan, penghayatan, pendalaman dan pengamalannya. Tetapi tiada paksaan. Bila anda tidak suka, tidak menganggapnya sebuah hadiah terbaik, bukan karunia, silakan saja anda tidak menerimanya. Mari kita hidup bertetangga di rumah dunia dengan baik, saling menghormati dan kerjasama dalam kebaikan.”
Bukan hanya Islam, para pemeluk agama lain pun percaya bahwa agama mereka atau dharma yang mereka anut atau keyakinan yang mereka peluk, adalah perlu untuk disampaikan, ditablighkan, didakwahkan. Mereka merasa mendapat kebahagiaan dalam keyakinan mereka. Mereka tidak mau bahagia sendiri. Senang sendiri. Ingin berbagi. Kita memandang dengan takjub dan hormat kepada para rohaniawan yang tulus setia dalam dharma atau keyakinannya, bahagia dalam keyakinannya, dan dengan tulusnya semata-mata demi niat membahagiakan orang lain, mereka rela pergi meninggalkan negerinya, mengabarkan apa-apa yang perlu dikabarkan.
Lepas dari motif-motif di luar ketulusan untuk berbagi dalam kebahagiaan memeluk suatu agama atau menganut dan menjalani suatu keyakinan, terdapat juga motif-motif lain yang berhubungan dengan politis (penguasaan), ekonomi dan seterusnya. Yakni, kadang-kadang, manusia tergoda memakai karunia yang didapatnya, bukannya untuk kebahagiaan orang lain, tetapi, membuatnya sebagai sarana untuk menjadikan orang lain sebagai bawahannya, atau penghasil keuntungan baginya semata. Namun demikian, di saat ini dalam artikel ini, kita tidak akan lebih jauh membahas hal tersebut.
Yang kita tahu berdasarkan data dan berita-berita sejarah, bahwa ada ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu, para Brahmana India pergi ke Asia Tenggara untuk berbicara tentang hukum Wedha (dan seterusnya); para Bikkhu dan Bikhuni Buddha mengabarkan Dharma ke luar negerinya; para misionaris Kristen pergi keluar negerinya untuk mengabarkan Injil; pendakwah Muslim pergi keluar negerinya untuk mengabarkan atau mengajak umat manusia kepada penyembahan Allah (Tauhid), pengakuan bahwa (sesuai rukun iman) telah [dan bisa jadi akan] ada banyak nabi dan rasul yang diutus Tuhan untuk membimbing bangsa-bangsa di dunia, dan, bahwa Nabi Muhammad saw (570-632) adalah rasul-Nya, dan beliau adalah yang khatam dari semuanya (khatamun nabiyyin, khatamul mursalin).
Baiklah, kita kembali kepada judul, yaitu tentang Zwemer. Sebelum tentang Zwemer, mari kita ke bahasan yang lebih luas, bahwa, dalam rangka mengabarkan Injil, para penginjil atau misionaris Kristen tertarik mengabarkannya kepada orang-orang di luar mereka. Raymond Lull, pada abad 13 adalah bisa dikatakan orang missi pertama yang pergi menuju, khususnya dunia Arab dalam rangka mengabarkan keyakinannya. Ia berpikir, “Daripada Eropa memerangi Islam, lebih baik, ‘menobatkan’ mereka dengan ajaran ini dan itu.” Selain Lull, di wilayah lain (non Arab, non Timur Tengah) ada Uskup Pordenone, yang tertarik ingin membuka jalan penyebaran agama Kristen (Katholik) ke Nusantara. Dikabarkan ia pernah menjejakkan kakinya diantaranya ke Majapahit. Ia adalah perintis pengabaran Kristen ke negeri yang sekarang disebut Indonesia. Namun, tugasnya bukan mengabarkan apa yang disebutnya Injil, melainkan, mencari tahu tentang dunia selain Eropa dan Timur Tengah. Pengetahuan ini tentu berharga demi masa depan penginjilan (menurut istilah Kristiani). Kabar ini tercatat dengan penjelasan yang detail di link berikut:
Setelahnya, ‘dunia sepupu’ (sebutan bersahabat orang-orang Kristen terhadap dunia Islam dan Arab) tidak atau kurang diperhatikan dalam kegiatan misionaris Kristen, kecuali mulai abad ke-19. Pada abad 19-20 mulailah ramai para pendeta Eropa dan Amerika mendatangi dunia Arab, dunia Muslim, dunia Timur untuk mengabarkan agama mereka bersamaan dengan kuatnya dominasi politik dan ekonomi mereka.
Samuel Marinus Zwemer, adalah salah satu diantara mereka. [1] Bukan hanya salah satu, bahkan, yang sangat terkenal diantara mereka. Samuel Zwemer, misionari kepada “orang-orang sepupu”, lahir di dekat Holland, Michigan, pada tahun 1867, sebagai anak ke-13 dari 15 bersaudara. Zwemer mengikuti pendidikan misionari. Pada tahun 1890 Zwemer menuju Arab (Suriah). Tahun 1897, ia bersama istri pergi ke Bahrain, juga untuk misi pelayanan. Cuaca dingin dan panas secara ekstrim membuat kedua putrinya meninggal. Setelah tahun 1905, perjalanan misi Arab yang dikerjakan oleh Zwemer berhasil mendirikan empat pos pelayanan. Kemudian pada tahun 1906, beliau menjabat sebagai ketua konferensi besar pertama para utusan Injil yang melayani di “dunia sepupu” yang diadakan di Kairo. Selama 17 tahun, Zwemer menjadikan Kairo sebagai markasnya. Dari sanalah, ia melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia, ikut serta dalam konferensi-konferensi, menggalang dana, dan mendirikan pelayanan bagi “orang-orang sepupu” di India, Cina, Indochina, dan Afrika Selatan.
Nah, dari sinilah, kisah ini mulai berawal. Tentang Pendeta Zwemer yang menunjungi Qadian, India. Ia mengunjungi Qadian setelah wafatnya pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salaam. Kabar adanya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salaam yang menyatakan dirinya (dalam pengumuman selebaran yang beliau terbitkan) bahwa beliau adalah orang yang telah disebut oleh Nabi Isa al-Masih‘alaihis salaam dengan sebutan Isa atau Al-Masih yang datang di akhir zaman (Masih Mau’ud). Begitu pula, beliau juga menyatakan bahwa seseorang yang disebut (dinamai) Imam Mahdi dan nabiyullah Isa sebagaimana disabdakan/dikabarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih adalah beliau orangnya.
Putra dari Pendiri Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyallahu ‘anhu (1889-1965) menulis laporan pandangan mata tatkala Samuel Marinus Zwemer mengunjungi Qadian, India (tempat kelahiran, tempat tinggal dan dimakamkannya Pendiri Jamaah Ahmadiyah, begitu juga menjadi tempat tinggal sebagian keturunan beliau hingga sekarang) dan pertemuan dengannya. Dari pertemuan ini, terlihat bagaimana ada sedikit kecongkakan dari sang Pendeta. Mungkin dilandasi oleh keyakinan bahwa keyakinannya yang benar dan yang lain salah, sehingga, ia pun tak segan-segan menyerang orang-orang yang menjadi ‘ladang’ pelayanan baginya. Ditambah lagi, bangsa Eropa (saudara bangsa Amerika) sedang jaya-jayanya waktu itu. Menjadi penjajah di berbagai penjuru bumi.
Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyallahu ‘anhu (1889-1965) menulis: “Di Qadian ini suatu kali padri (pendeta) Zwemer datang, yang merupakan padri paling termasyhur di dunia, dan penduduk Amerika. Di sana dia juga merupakan editorsebuah majalah Missie yang sangat besar dan memiliki kedudukan yang terkemuka dalam masyarakat Kristen Missionaris. Dia juga mendengar kabar tentang Qadian.
Ketika dia datang ke India, maka setelah melihat semua tempat dia datang ke Qadian. Bersamanya ada juga seorang padri bernama Gordon. Dr. Khalifah Rasyiduddin Sahib Almarhum (Sahabat Pendiri Ahmadiyah) ketika itu masih hidup. Beliau ketika itu memperlihatkan semua tempat di Qadian. Tetapi Padri Sahib tidak bisa berhenti dari lidah tajamnya.
Pada masa itu di Qadian tidak ada administrasi kota dan banyak sekali sampah tercecer di jalan-jalan. Padri Zwemer sambil tertawa-tawa dalam percakapan berkata, ‘Kami telah melihat Qadian, dan telah melihat kebersihan desa Masih (Yesus, Isa Al-Masih) yang baru’. Dr. Khalifah Rasyiduddin Sahib sambil tersenyum berkata kepadanya, ‘Padri Sahib, Hindustan masih di bawah pemerintahan Masih terdahulu (jajahan Inggris yang Kristen), dan ini adalah contoh kebersihannya. Pemerintahan Masih yang baru belum berdiri.’ Atas hal itu dia menjadi malu.
Mereka mengirim pesan kepada saya (Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad), ‘Kami ingin bertemu.’ Kondisi saya sedang tidak sehat, tetapi saya berkata, ‘Silahkan.’ Padri Zwemer berkata, ‘Saya ingin menyampaikan satu dua pertanyaan.’ Saya berkata, ‘Silahkan.’ Dia berkata, ‘Apa akidah (kepercayaan) Islam mengenai reinkarnasi? Apakah Islam mempercayai hal ini atau mengingkarinya?’
Begitu dia menanyakan hal ini, bersamaan dengan itu Allah Ta’ala memasukkan kedalam hati saya, tujuannya dengan pertanyaan itu adalah, ‘Yang kalian katakan bahwa Masih Mau’ud adalah buruz (bayangan) dan matsil (misal) Masih Nashiri, apakah maksudnya ruh Masih Nashiri masuk ke dalam dirinya. Jika ini maksudnya, maka ini adalah reinkarnasi, dan akidah reinkarnasi bertentangan dengan Al Quran Karim.’ Karena itu sambil tersenyum saya berkata kepadanya, ‘Padri Sahib, anda keliru. Kami tidak berpendapat bahwa ruh Masih Nashiri masuk ke dalam tubuh Mirza Ghulam Ahmad Sahib, tetapi kami menyebut beliau matsil (misal, persamaan) Masih Nashiri,dengan pengertian bahwa beliau datang dengan warna akhlak dan keruhanian Masih Nashiri.”
Ketika saya memberikan jawaban ini, dia berkata, ‘Siapa yang memberitahu anda bahwa ini pertanyaan saya? (pertanyannya pertanyaan tidak langsung) Pendeknya, dia lalu berkata, ‘Maksud pertanyaan saya adalah untuk mengetahui bagaimana anda bicara?’”
“Saya berkata kepadanya apa pertanyaan kedua anda?’ Dia berkata, ‘Kebangkitan seorang nabi hendaknya di tempat yang seperti apa?’ Tempat seperti apa yang diperlukan baginya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Begitu menanyakan soal kedua ini, bersamaan dengan itu Allah Ta’ala memasukkan dalam hati saya bahwa tujuannya dengan pertanyaan itu adalah Qadian adalah sebuah desa kecil, bagaimana bisa ini menjadi markaz dunia? Dan bagaimana bisa dari tempat kecil ini menyampaikan tabligh ke seluruh dunia? Jika maksud kebangkitan Mirza Sahib adalah menyampaikan tabligh Islam ke seluruh dunia, maka beliau hendaknya diutus di tempat yang dari situ suara bisa sampai ke seluruh dunia.
Pendeknya bersamaan dengan pertanyaan tersebut Allah Ta’ala menanamkan hal ini dalam hati saya, kemudian sambil  tersenyum saya berkata kepadanya, “Padri Sahib (Tuan Pendeta), apakah nabi bisa datang di tempat yang lebih besar dari Nazaret?  Desa tempat Hadhrat Masih Nashiri (Yesus Kristus, Nabi Isa) muncul, namanya Nazaret, dan penduduk Nazaret hanya terdiri dari 10-12 rumah.”
Atas jawaban saya itu dia menjadi pucat dan terheran-heran bahwa saya memberikan jawaban hal itu. Begitu juga dia menanyakan soal ketiga, yang saya tidak ingat. Pendeknya dia menanyakan tiga soal, dan berkenaan dengan soal itu Allah Ta’ala mengilhamkan dan memberitahukan kepada saya apa maksud sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Dan meskipun sebelumnya dia menanyakan hal-hal lain untuk mengaburkan, tetapi Allah Ta’ala menzahirkan tujuannya yang sebenarnya kepada saya dan dia benar-benar terdiam.
Jadi Allah Ta’ala mempengaruhi hati dengan cara yang luar biasa, dan dia menolong hamba-hamba-Nya dengan pengaruh tersebut, dan pengaruh ini hanya ada dalam kekuasaan Tuhan, tidak ada dalam kekuasaan hamba.“ (Khotbah 10 April 1942)

Dildar Ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar