Rabu, 31 Desember 2014

Fase Akhir Majapahit (3)

Suriname
Suriname merupakan bekas jajahan Belanda di Amerika Selatan. Pada sekitar tahun1890, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengiriman tenaga kerja dari Indonesia (Hindia Belanda) ke Suriname untuk menggantikan tenaga budak dari Afrika. Tenaga kerja tersebut menggunakan sistem kontrak, yang bekerja pada kebun tebu, kakao, dan tambang bauksit. Setelah kontrak selesai, tenaga kerja tersebut ada yang pulang ke Jawa, dan adapula yang menetap di Suriname.
Pada tahun 1950, Suriname mengadakan pemilihan umum. Sesudah legislatif terbentuk, maka Suriname menjadi daerah otonomi negara Belanda, maka otomatis penduduk asal Jawa menjadi warganegara Belanda. Pada tahun 2004 diadakan sensus penduduk, orang etnis Jawa di Suriname berkisar 71.879 dari 492.820 jiwa Suriname.
Biarpun masyarakat Jawa hidup di Suriname sudah beratus tahun dan beranak turun, tetapi mereka tetap berusaha melestarikan budaya Jawa. Terdapat grup jathilan, ludruk, kethoprak, wayang kulit di Suriname. Maka tidak mengherankan bila penduduk Suriname tidaklah asing dengan penyanyi campur sari semodel Didi Kempot, Cak Dikin dan sebagainya.
Kerajaan
Buku ini mengkaji konsep kerajaan-kerajaan di Indonesia berkaitan dengan mutasi budaya yang telah terjadi dari budaya lokal yang sangat kuat yang telah mengalami dua periode mutasi akibat pengaruh budaya Asia.
Mutasi pertama adalah proses “indianisasi” pada periode penyebaran agama Hindu & Budha yang mencapai puncaknya pada masa kejayaan Majapahit. Bisa dikatakan mutasi pertama ini telah berhasil menyatukan budaya lokal dengan pengaruh “indianisasi” menjadi suatu yang menghasilkan banyak karya budaya yang megah dan kerajaan-kerajaan yang besar (Singasari, Sriwijaya dan Majapahit) Peninggalan candi-candi megah di Jawa Tengah (Borobudur dan Prambanan).
Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara total budaya India tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu & Budha berpendapat bahwa memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang bukan Budha bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.
Contoh yang paling pas bahwa budaya India tidak sepenuhnya dijalankan di Jawa adalah budaya wayang purwo. Walaupun cerita dan tokoh utamanya adalah dari kisah Ramayana & Mahabarata dalam realitas ceritanya tidak pas 100% dengan cerita yang ada di Ramayana dan Mahabarata. Banyak kandungan lokal yang sudah masuk dalam cerita wayang, termasuk adanya unsur panakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong).
Mutasi kedua yaitu proses pengislaman yang tidak tuntas, karena walaupun orang Jawa/Indonesia berhasil di Islamkan, dalam kenyataanya tidak ada kerajaan Islam di Indonesia yang bisa menggantikan kedudukan Majapahit dalam pencapain menjadi kerajaan besar. Proses pengislaman telah menyurutkan kejayaan Majapahit menjadi banyak kesultanan-kesulatan kecil dengan otonomi dan wilayah yang terbatas. Paling besar adalah kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung, itupun cepat menyurut seiring dengan bekembangnya kolonialisme Belanda. Bahkan pada saat Indonesia merdeka, tokoh-tokoh Islam di Indonesia tidak berhasil menjadikan Islam sebagai dasar negara. Secara aklamasi menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
Warisan kerajaan-kerajaan konsentris: konsep kerajaan-kerajaan di Jawa/Indonesia adalah konsep raja sebagai poros kekuasaan yang dikelilingi oleh para assistennya termasuk para penguasa didaerah. Untuk memperkuat kedudukannya di daerah, cara yang dipakai adalah sistem keluarga, dimana penguasa-penguasa di daerah adalah kalangan keluarga dekat raja atau dilakukan pernikahan dengan keluarga dekat raja sehingga raja tidak dikhawatirkan dengan sikap pembangkangan yang mungkin timbul. Kadang-kadang juga dengan menyandera salah satu keluarga penguasa daerah untuk tetap tinggal di lingkungan istana, tentunya kalau ingin tetap selamat, penguasa daerah harus tetap loyal kepada raja.
Raja sebagi pusat poros kekuasaan, dianggap sebagai perwujudan dewa pada masa pengaruh agama Hindu, contohnya Airlangga dan Ken Arok diangap sebagai perwujudan Wisnu. Pada masa penyebaran agama Islam, ada mitos bahwa raja adalah sebagai wakil Tuhan di dunia, oleh karena itu untuk menjadi raja harus mendapat “wahyu kraton” yang berupa cahaya cemerlang yang masuk dalam tubuh raja tersebut (kepercayaan ini bukanlah asli dari agama Islam, tapi lebih pada kepercayaan lokal, bahkan mungkin dari pengaruh Hindu).
Pusat poros kekuasaan ini terefleksi dengan nama raja-raja di Jawa – Paku Buwono yang berarti paku dunia, Paku Alam yang berarti paku semesta alam, Hamengku Buwono yang berarti memangku dunia. Juga gelar yang disandang: Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah yang berarti raja adalah panglima tertinggi, pengatur agama juga pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan. Ini juga pengaruh warisan lama dari pewayangan bahwa raja yang baik adalah “ratu pinandito” raja yang sekaligus juga bersifat pendeta, suatu usaha agar tidak terjadi dualisme kekuasaan antara kekuasan raja dan kekuasaan pendeta/ulama.
Poros kekuasaan raja sebagai kekuasan absolut menimbulkan suatu ruang kebebasan dalam masyarakat Indonesia. Ini disebabkan makin jauh dari ibukota dimana kerajaan itu berada, kekuatan kekuasan raja makin menipis. Ruang pedesaan dan hutan terdapat suatu ruang kebebasan dimana orang-orang yang tidak sehaluan dengan raja, mengembangkan budaya kebebasan mereka sendiri yang umum disebut sebagai budaya pinggiran. Bukti adanya suatu budaya mandiri yang lepas dari kekuasan adalah adanya kisah perjalanan seperti Serat Centini di Jawa Tengah dan Bujangga Manik di Jawa Barat. Kisah perjalanan ini banyak menceritakan tentang kantong-kantong daerah di seluruh Jawa yang terlepas dari pengaruh kerajaan, kisah-kisah kebijakan para pertapa dan kyai-kyai yang mengembangkan otoritas mereka sendiri-sendiri dalam wilayah terbatas lepas dari kekuasaan raja.
Danys Lombart mengakhiri ulasannya pada masa pemerintahan Pak Harto yang melihat bahwa pola pemerintahan Pak Harto adalah merupakan warisan budaya kerajaan konsentris, dimana kekuasaan pemerintahan cenderung absolut dan dalam mengembangkan kekuasaan pemerintah pusat menggunakan tipikal persaudaraan walaupun dalam realisasi bukan keluarga dalam arti sebenarnya tapi dalam lingkup persaudaraan jaringan militer Angkatan Darat.
Sedangkan kantong-kantong kebebasan di daerah pinggiran, dengan makin menciutnya daerah lahan hutan, beralih masuk kota yang merupakan kebebasan daerah kumuh di perkotaan-perkotaan yang juga tidak tersentuh kekuasaan formal negara: banyak orang tidak punya ktp, kumpul kebo, punya penguasa tersendri dalam kelompoknya, tidak mengikuti apapun aturan dan arahan dari struktur kenegaraan.
Sedangkan paska reformasi 1998, kalau mengacu pada pola pikir Danys Lombart bisa disimpulkan: adalah kelanjutan dari pertarungan golongan-golongan yang pro pembaratan dan yang anti pembaratan. Realitasnya golongan pro-pembaratan telah memenangkan pertarungan dimana semua konsep kenegaraan dan ekonomi meniru konsep-konsep yang berasal dari Barat.
Tamat.
*) Tulisan ini terinspirasi dari diskusi, membaca, dan mengkaji sekira tahun 2010 an.

banyu W

Tidak ada komentar:

Posting Komentar