Sabtu, 27 Desember 2014

60 Sahabat Nabi : Abdullah bin Umar (bagian 3)

Adakah lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Ber­kali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau me­nerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin kerns lagi … Berceritakan Hasan r.a.:
“Tatkala Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat me­ngatakan kepada Abdullah bin Umar: “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah, agar kami minta orang-orang bai’at pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang ter­tumpah disebabkan daku!’ Kata mereka pula: ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancam­nya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh . . . .!”
Dan setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi, Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula.
Sebagai dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan berlarut-larut yang akan membawa ben­cana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.
Dan ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagai­manapun kebaikan Ibnu Umar dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan oleh Ibnu Umar itu.
Seorang laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !”
“Kenapa ? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya me­numpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!”
Kata laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang … !13
Jawab Ibnu Umar: “Saga tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang lainnya tidak!”
Bahkan setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah meninggalkan­nya karena tidak menyukainya. Sampai saat itu Ibnu Umar telah menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita gempur mereka sampai mau bai’at!”
“Demi Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …
Marwanpun pergi berlalu sambil berdendang:
“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila,
Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”.
Yang dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
“siapa yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya pe­nuhi….
Dan siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….
Tetapi siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’ maka saya akan katakan tidak . . . .”
Hanya dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan mem­bingungkannya, sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”
Dan pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah Kitabullah!”
Maka berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu bohong   . ! “
Hajjaj yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika ancamanmu itu kamu laksana­kan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya, sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….
Berkatalah Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh sangat menye­dihkan.”
la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah ia hendak mern­bangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.
Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu dijauhinya.
Sebetulnya hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata: “Tiada sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka . . .!”
Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan­nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri,
tetapi adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan musyrik, tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….
Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda adalah          serta
anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” — mak­sudnya membela Ali. Maka ujarnya:
“Sebabnya ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim! Firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah.   (Q.S. 2 al-Baqarah: 193).
Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?”
Demikianlah logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demi­kianlah pula keyakinan dan pendiriannya! Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang meng­hunus pedang terhadap Muslim lainnya.
Ibnu Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang
luar biasa, telah merubah khasiat zamannya!
Masa yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu, dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu, tidak tergoyahkan sedikit pun juga.
Dengan bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu perubahan yang tak dapat dielak­kan. Masa itu boleh disebut sebagai masa kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan keinginan ­keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan golongan.
Dan di tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu, oleh hasil perolehan dan kemegah­annya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengem­bangan jiwanya yang besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutama­an tak ubahnya ia dengan Umar”.
Bahkan ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang me­ngagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata mereka:
“Umar hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang menjadi saingannya, tetapi Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak ditemui yang menjadi tolak bandingannya … !”
Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu Umar . . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!
Suatu hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab -

PE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar