Adalah Abraham Lincoln yang mengakhiri perbudakan di Amerika. Sejarah mencatat, peristiwa abad 19 itu tidak mudah dilakukan. Abad 20 sering disebut sebagai abad nasionalisme. Atau kita bisa melihat sebagai pembebasan perbudakan suatu bangsa oleh bangsa lain. Dan sekali lagi, sejarah mencatat perjuangan pembebasan itu tidaklah mudah. Abad 21, apa yang kita alami sekarang ini? Semakin terasa, perbudakan terus merajalela. Ini adalah masalah manusia yang memperbudak alam semesta. Manusia mengeksploitasi dan sewenang-wenang terhadap alam. Apakah merupakan jalan gampang melawan perbudakan terakhir ini? Kelihatannya tidak akan gampang, terlebih jika kita membandingkan dengan dua perbudakan terdahulu, ternyata ada kemiripan yang erat. Hal itu adalah: keserakahan.
Mengapa keserakahan selalu muncul dalam berabad sejarah perbudakan? Atau bahkan dalam sejarah manusia itu sendiri? Kelihatannya harus mulai kita sadari bersama bahwa dalam politik kita tidak boleh hanya berhenti pada apa yang umum disebut sebagai politik riil (real politics). Tetapi juga harus berani masuk dalam manusia riil, manusia apa adanya. Sibuk dengan politik riil tetapi lupa menyelami manusia[1] dapat menyebabkan politik berkembang liar tanpa keberakaran. Politik yang berjalan tanpa peta yang betul-betul dapat menggambarkan kompleksitas manusia. Manusia yang terlempar dan hidup kongkret dalam dunia ini.
Ketika keserakahan kemudian dimaknai sebagai satu-satunya kebenaran manusia apa adanya, jelas ini telah menipu kita. Greed is good! Demikian adagium yang dikumandangkan oleh Michael Douglas dalam film Wall Street. Suatu yang jika kita hadapkan dengan berbagai laku perbudakan, apakah kita masih bisa bicara greed is good itu? Maka menilik dari sejarah perbudakan, kita akan menemukan bahwa ada sisi lain dari manusia di luar logika keserakahan ini. Lihat, ternyata Lincoln mampu menghapus perbudakan yang bagaimanapun juga itu adalah bagian dari keserakahan. Dan juga ternyata abad 20 kita melihat banyak negara-bangsa mampu menjadi negara merdeka, bebas dari perbudakan penjajah. Ada sesuatu yang membuat Lincoln dan pejuang kemerdekaan mampu membuat itu menjadi mungkin. Kekuatan apa itu? Intropeksi! Mawas diri!
Introspeksi, introspection, ‘examination of and attention to your own ideas, thoughts and feelings’[2]. Mawas diri, mengoreksi dan memeriksa diri.[3] Mawas diri, dirujuk ke artinya yang lebih mendasar yaitu “wawas diri’. Mewawas diri adalah melihat, memeriksa, mengoreksi diri sendiri secara jujur, introspeksi. Mewawas ini sendiri dari bahasa Jawa, “wawas, mewawas” yang artinya meneliti, meninjau, memandang, mengamati.[4] Maka Lincoln kemudian meneliti, meninjau, memandang dan mengamati, tegasnya: memeriksa diri dan kemudian mengoreksinya. Mengoreksi laku perbudakan yang seakan normal-normal saja dilakukan saat itu. Atau juga pejuang-pejuang kemerdekaan. Hatta, Sukarno, Tan Malaka, dan banyak lagi, mereka meneliti, meninjau, memandang dan mengamati, tegasnya: memeriksa diri dan kemudian mengoreksinya. Mengoreksi laku perbudakan yang dijalankan oleh penjajah. Dan yang namanya mengoreksi itu, konkretnya adalah sebuah pergerakan, sebuah pejuangan, sebuah tindakan kongkret menjebol dan membangun.
Tanda-tanda ‘great introspection’ atau mawas diri besar-besaran ini bukannya tidak ada. Bahkan Sekjen Ban Ki-moon sendiri menegaskan perlunya “peradaban baru” dalam menjalankan mesin pembangunan. Atau juga peresmian Pusat Teknologi Iklim dan Jaringan (The Climate Technology Centre and Network/CTCN) oleh Badan Program Lingkungan PBB (UNEP) di Nairobi, Kenya, pertengahan bulan Februari 2013 lalu. CTCN ini erat terkait dengan isu menyusutnya kualitas lingkungan, berkurangnya keragaman hayati, hingga suhu Bumi yang terus meningkat.[5] Tanda-tanda ini harus kita perhatikan dengan serius. Ini bisa menjadi sebuah gerak global, tempat di mana kita sebagai bangsa Indonesia juga ikut ada di dalamnya.
Mari kita ingat apa yang dikatakan oleh Amartya Sen, perbudakan hilang karena memang dunia sudah tidak bisa menerima lagi laku perbudakan. Dan untuk hal ini, pusat episentrum gerakan dapat dikatakan ada pada Lincoln. Demikian juga abad nasionalisme di abad 20. “Self determination” menjadi salah satu inspirasi dunia yang diserap oleh banyak pejuang kemerdekaan di negara-negara dunia ketiga. Maka, katakanlah “peradaban baru” ini sebagai bagian mawas diri global di abad 21, dan ini semestinya dapat memberikan inspirasi juga bagi kita.
Tetapi kongkret dan masih kita alami bersama di Indonesia ini, adanya sebuah rejim serakah, yaitu rejim senyawa oligarki-politik pemburu rente. Secara sederhana dapat kita lihat bagaimana media massa melaporkan berbagai mobil mewah yang disita KPK dari salah seorang tersangka pat-gu-li-pat kasus impor daging sapi. Juga kasus simulator SIM. Dan banyak lagi. Kasat mata, itu keserakahan sebuah rejim. Belum lagi temuan illegal logging, illegal fishing. Mempermainkan komoditi bawang putih – bawang merah, yang disinyalir ini dapat mengeruk ratusan milyar rupiah. Dan pemerintah seakan diam saja. Banjir bandang karena penebangan liar yang terus dapat berjalan aman-aman saja karena laku pat-gu-li-pat dan kong-ka-li-kong. Ini adalah juga keserakahan, keserakahan yang suka atau tidak suka, adalah bagian dari hidup manusia itu sendiri. Tetapi bagaimana jika kita sebagai bangsa dikuasai oleh sebuah rejim yang serakah? Inilah masalahnya. Maka menjebol rejim ini, untuk kemudian membangun sebuah “peradaban baru” inilah mengapa kita harus bergerak. Sesuatu yang mau-tidak-mau harus kita lakukan, jika kita sebagai bangsa masih ingin menjadi bagian dari pergaulan global yang sedang menuju satu “peradaban baru”. Belajar dari sejarah, ini tidaklah mudah. Bukan jalan gampang. Tetapi, mengapa harus ragu dan takut? Lincoln tidak akan jadi Lincoln yang dikenang jika ragu dan takut. Demikian juga Sukarno, Hatta dan pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Mereka tidak pernah ragu, apalagi takut.
“Tetapi kami bertekad bahwa bangsa-bangsa kami, dan dunia sebagai keseluruhan, tidak akan menjadi permainan dari satu bagian kecil dari dunia.”
“Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal; kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik!”
Demikian tekad si Bung dalam Membangun Dunia Yang Baru, “To Build The World Anew”[6], setengah abad yang lalu. *** (Greg-25/03/2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar