Rabu, 31 Desember 2014

Fase Akhir Majapahit

Buku Nusa Jawa Silang Budaya adalah terjemahan hasil karya Denys Lombart – seorang orientalist asal Prancis – dengan judul asli Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang terbit pada tahun 1990 dan terjemahannya berjudul Nusa Jawa Silang Budaya. Buku terjemahan ini terdiri dari 3 jilid yang dilakukan oleh tim Pusat Dokumentasi dan Penelitian EFEO, Jakarta. Ringkasan ini mendasarkan diri pada buku terjemahan tersebut yang diterbitkan P.T. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1996.
Ringkasan isi Nusa Jawa Silang Budaya (1) – Batas-Batas Pembaratan: Isi buku ini mencoba mengkaji seberapa besar pengaruh pemikiran Barat terhadap masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa yang punya pengaruh kuat dalam pembentukan budaya Indonesia.
Beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Danys Lombart adalah:
1. Kedatangan Belanda pada tahun 1596 yang kemudian jengkal demi jengkal meluaskan pengaruh penjajahannya dan akhirnya berhasil membentuk tanah koloni bernama Hindia Belanda tidak secara otomatis merubah cara berpikir penduduk lokal terpengaruh dengan cara berpikir Barat. Hal ini disebabkan penduduk Belanda yang berada di koloni Hindia Belanda sangat kecil jumlahnya untuk mampu mempengaruhi budaya lokal. Apalagi Belanda dalam menjalankan tata pemerintahan kolonial menggunakan tangan para bangsawan lokal jadi tidak secara langsung berhadapan dengan masyarakat lokal secara luas.
2. Pengaruh pemikiran Barat baru mulai pada abad ke 19 melalui:
# Komunitas-Komunitas Kristen yang melakukan penyebaran agama Kristen di kalangan bangsawan dan rakyat jelata yang memasukkan unsur-unsur budaya Barat didalamnya.
# Melalui para bangsawan lokal yang diizinkan oleh Belanda mendapat pendidikan Barat untuk keperluan administrasi birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Belanda karena cikal bakal pergerakan kemerdekaan berasal dari kalangan ini.
# Tentara dan Akademisi – hal ini dimulai pada awal perang kemerdekaan dimana doktrin militer mulai berorientasi meniru model doktrin militer Barat dalam melakukan perlawanan terhadap Jepang maupun Belanda dan diteruskan pada paska 1950 dimana banyak kalangan militer dan akademisi dikirim untuk belajar di negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat).
# Terbentuknya Kelas Menengah. Sejalan dengan kemajuan ekonomi dan pendidikan yang mengacu dengan sistem Barat. Pemikiran Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia paska pemerintahan Presiden Sukarno dengan segala embel-embel peniruan budaya Barat dengan mulai terbentuknya kelas menengah di Indonesia.
Kemudian Danys Lombart membahas pengaruh pembaratan di Indonesia yang meluas dibidang-bidang: teknologi, ekonomi, demografi antara pedesaan dan perkotaan dimana budaya Barat lebih terasa di perkotaan tapi tidak begitu terasa di pedesaan yang masih tetap berorientasi pada budaya lokal, busana, tingkah laku, dan bahasa. Sebagai akibatnya terjadi erosi terhadap budaya daerah.
Pada akhir jilid 1, Nusa Jawa Silang Budaya, Danys Lombart mengkaji lebih jauh apakah pembaratan di Indonesia merupakan suatu peralihan budaya Indonesia yang sepenuhnya menuju masyarakat yang berorientasi ke budaya Barat atau justru ada suatu penolakan terhadap pengaruh budaya Barat dan mencoba menegaskan bahwa budaya lokal adalah budaya yang harus dipertahankan dan dilestarikan.
Ada dualisme terjadi dalam masyarakat Indonesia yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan Indonesia lebih lanjut tapi ada juga golongan-golongan yang menolak secara tegas pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia. Hal ini yang memunculkan nasionalisme Indonesia dengan kemunculan Budi Utomo pada tahun 1908 yang membangkitkan kebangkitan nasional dengan lebih menekankan kecintaan dengan sesuatu yang bersifat lokal yang mengilhami para pemuda Indonesia melahirkan sumpah pemuda: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.
Sangat menarik kutipan di buku ini ucapan dari DR. Rajiman (salah satu pendiri Budi Utomo), yaitu: “Jika pribumi dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat diantara dua peradaban”.
Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren yang pada zaman Belanda, tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “Wali Sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. (Note: Hanya belakangan ini pesantren-pesantren mengajarkan teknologi ataupun ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat. Apakah ini suatu indikasi pembaratan makin meluas pada pascapemerintahan Presiden Sukarno?).
Menarik juga bahwa pada akhir tulisan dikatakan bahwa Pancasila adalah suatu ideologi lokal yang berusaha untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat. Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai founding father selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.
Juga konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Suatu pemikiran yang jauh ke depan.
Berdasarkan kesimpulan adanya resistensi pengaruh Barat dan penggalian kembali nilai-nilai ketimuran, lebih jauh Danys Lombart akan menganalisis masyarakat Indonesia yang punya kecenderungan sinkretik dalam pengertian terbuka tehadap pengaruh budaya luar tapi tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam.
*) tulisan di atas terinspirasi dari membaca, diskusi, mengkaji sekira tahun 2010 an.

Banyu W

Tidak ada komentar:

Posting Komentar