H. Rifai, seorang Indonesia beragama Islam yang tinggal di Florijn 211 Amsterdam, Nederland, pada tanggal 30 Desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal diantaranya tentang keturunan Rasulullah saw.
1. Oleh Menteri Agama diserahkan kepada Prof. Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih merata. Jawaban HAMKA atas pertanyaan diatas sebagai berikut :
2. Yang pertama sekali hendaklah kita ketahui bahwa Nabi saw tidak meninggalkan anak laki-laki. Anaknya yang laki-laki yaitu Qasim, Thaher, Thayib dan Ibrahim meninggal di waktu kecil belaka. Sebagai seorang manusia yang berperasaan halus, beliau ingin mendapat anak laki-laki yang akan menyambung keturunan (nasab) beliau. Beliau hanya mempunyai anak-anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kulsum dan Fathimah. Zainab memberinya seorang cucu perempuan. Itupun meninggal dalam sarat menyusu. Ruqayyah dan Ummu Kulsum mati muda. Keduanya isteri Usman bin Affan, meninggal Ruqayyah berganti Ummu Kulsum (ganti tikar). Ketiga anak perempuan inipun meninggal dahulu dari beliau.
3. Hanya Fathimah yang meninggal kemudian dari beliau dan hanya dia pula yang memberi beliau cucu laki-laki. Suami Fathimah adalah Ali Bin Abi Thalib. Abu Thalib adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh Nabi sejak usia 8 tahun. Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi sebagai seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah yang akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah kasih sayang dan cinta beliau kepada cucu-cucu ini. Pernah beliau sedang ruku’ si cucu masuk ke dalam kedua celah kakinya. Pernah sedang beliau sujud si cucu berkuda ke atas punggungnya. Pernah sedang beliau khutbah, si cucu duduk ke tingkat pertama tangga mimbar.
4. Al-Tarmidzi merawaikan dari Usamah Bin Zaid bahwa dia (Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain berpeluk di atas ke dua belah paha beliau. Lalu beliau saw berkata, ‘Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan aku sayang kepada keduanya’.
5. Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Abi Bakrah bahwa Nabi saw pernah pula berkata tentang Hasan, ‘Anakku ini adalah Sayyid (tuan), moga-moga Allah akan mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum muslimin yang berselisih’.
6. Nubuwat beliau saw itu tepat. Karena pada tahun 60 hijriyah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, karena tidak suka melihat darah kaum muslimin tertumpah. Sehingga tahun 60 itu dinamai ‘Tahun Persatuan’. Pernah pula beliau berkata, ‘Kedua anakku ini adalah Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga kelak’.
7. Barangkali ada yang bertanya : ‘Kalau begitu jelas bahwa Hasan dan Husein itu cucunya, mengapa dikatakannya anaknya?. Ini adalah pemakaian bahasa pada orang Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam alquran surat ke-12 (Yusuf) ayat 6 disebutkan bahwa nabi Ya’kub mengharap moga-moga Allah menyempurnakan ni’mat-Nya kepada puteranya Yusuf, sebagaimana telah disempurnakan-Nya ni’mat itu kepada kedua bapamu sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishak. Padahal uang bapak atau ayah dari Yusuf adalah Ya’kub. Ishak adalah neneknya dan Ibrahim adalah nenek ayahnya. Di ayat 28 Yusuf berkata, ‘Bapak-bapakku Ibrahim dan Ishak dan Ya’kub’. Artinya nenek-nenek moyang disebut bapak, dan cucu cicit disebut anak-anak. Menghormati keinginan Nabi yang demikian, maka seluruh ummat Muhammad menghormati mereka. Tidakpun beliau anjurkan, namun kaum Quraisy umumnya dan Bani Hasyim dan keturunan Hasan dan Husain mendapat kehormatan istimewanya di hati kaum muslimin.
8. Bagi ahlus sunnah hormat dan penghargaan itu biasa saja. Keturunan Hasan dan Husain dipanggilkan orang Sayyid kalau untuk banyak Sadat. Sebab Nabi mengatakan ‘Kedua anakku ini menjadi Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga’. Di setengah negeri di sebut Syarif, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa, kalau banyak Asyraf. Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.
9. Apatah lagi di dalam alquran, surat ke-33 ‘al-Ahzab’, ayat 30, Tuhan memperingatkan kepada isteri-isteri Nabi bahwa kalau mereka berbuat jahat, dosanya lipat ganda dari dosa orang kebanyakan. Kalau begitu peringatan Tuhan kepada isteri-isteri Nabi, niscaya demikian pula kepada mereka yang dianggap keturunannya.
10. Menjawab pertanyaan tentang benarkah Habib Ali Kwitang dan Habib Tanggul keturunan Rasulullah saw? Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-aidid, Al-jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum Sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw. Sungguhpun yang terbanyak adalah keturunan Husain dari Hadramaut itu, ada juga yang keturunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Mekkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggilkan Tuan Sayyid, mereka dipanggil juga HABIB, di Jakarta dipanggilkan WAN. Di Serawak dan Sabah disebut Tuanku. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut SIDI. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baghdad, Syam dan lain-lain mereka adakah NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan itu. Di saat sekarang umumnya telah mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada sayidina Ali dan Fathimah.
11. Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alawi menganjurkan agar yang bukan keturunan Hasan dan Husain memakai juga title sayid di muka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, tidak pilih keturunan Alawy atau bukan, dengan pimpinan AR Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ‘al-Akh’, artinya saudara.
12. Maka baik Habib Tanggul di jawa Timur dan almarhum Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut itu, dan Ahmad bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu rasulullah Husain bin Ali bin Abi Thalib itu. Kepada keturunan-keturunan itu semua kita berlaku hormat dan cinta, yaitu hormat dan cintanya orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri. Sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu. Dan mengingat juga akan sabda Rasulullah saw, ‘Janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa nasab dan keturunan kamu’. Dan pesan beliau pula kepada puteri kesayangannya, Fathimah al-Batul, ibu dari cucu-cucu itu, ‘Hai Fathimah binti Muhammad, beramallah kesayanganku. Tidaklah dapat aku, ayahmu menolongmu di hadapan Allah sedikitpun’. Dan pernah beliau bersabda, ‘Walaupun anak kandungku sendiri fathimah, jika dia mencuri aku potong juga tangannya.’
13. Sebab itu kita ulangilah seruan dari salah seorang ulama besar Alawy yang telah wafat di Jakarta ini, yaitu sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab, agar generasi-generasi yang datang kemudian dari turunan Alawy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek-moyang, jangan sampai tenggelam ke dalam peradaban Barat. Seruan beliau itupun akan tetap memelihara kecintaan dan hormat ummat Muhammad kepada mereka.
14. Panji Masyarakat No. 169/Tahun ke XVII, 15 Februari 1975 (4 Shafar 1395 H) hal 37-38.
Dari ulasan beliau, sangat jelas bahwa beliau bukanlah penganut Syiah. Beliau pengikut ahli sunnah wal jamaah yang banyak mengulas tentang kepemimpinan Islam baik jamannya sahabat dan setelahnya. Saya mengenali pemikiran beliau dari karya-karya beliau diantaranya Tafsir Al Azhar 30 Juz, Sedjarah Umat Islam 2, Lembaga Hikmat, Kenangan Hidup, Prof Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, Tasawuf Modern, Kenang-kenangan abadi bersama ayahku Hamka dan beberapa karya beliau lainnya. Ulasan-ulasan beliau banyak merujuk pada Hadist, tetapi karya sekitar tahun 60-70 an yang saya kenali dari buku-buku beliau sumber referensi rujukannya tidak dicantumkan sebagaimana serinci seperti saat ini. Beliau hanya membuat list puluhan kitab utama yang menjadi rujukan beliau diantaranya beberapa Kitab Tafsir dan Hadist, termasuk menyampaikan juga bahwa beliau membaca juga puluhan buku karya ulama modern dan karya orientalis barat. Kekayaan kasanah bacaan beliau tercermin dari karya-karya beliau. Beliau mempunyai pengetahuan yang luas tentang sejarah perkembangan Islam dan persoalan umat Islam dari jamannya Rasullullah SAW sampai Islam tiba ditanah air, maka ciri pokok ulasan beliau yang berkaitan dengan persoalan umat Islam adalah selain tinjauan Hadist, tinjauan historis umat Islam beliau sertakan, tidak terlepas pula tinjauan beliau tentang pendapat pen-tarich sejarah dari non muslim untuk mendudukan persoalan secara adil. Mungkin karena kekayaan khasanah bacaan beliau, pengetahuan sejarahnya yang luas, dan keyakinan beliau pada Allah dan Rasul-Nya, beliau sangat hati-hati ketika menghadapi persoalan umat sebagaimana bisa kita lihat dari artikel diatas. Kehati-hatian beliau mengulas seperti itulah yang saya berani katakan belum ada tandingannya jika dibanding dengan ulama modern Indonesia saat ini. Beliau dengan berdasarkan sumber-sumber hukum (Al Qur’an dan Hadist) dan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan menunjukkan kesalahan suatu umat secukupnya seperti yang saya cetak dalam beberapa tinta biru diantaranya: “Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan”. Disatu sisi beliau juga mengingatkan umat ahli sunnah wal jamaah agar perlunya menghormat pada ahlul bait yang menyeru pada kebenaran sebagaimana beliau tulis: “Sebab itu kita ulangilah seruan dari salah seorang ulama besar Alawy yang telah wafat di Jakarta ini, yaitu sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab… Seruan beliau itupun akan tetap memelihara kecintaan dan hormat ummat Muhammad kepada mereka”.
Saya melihat beliau berusaha mendudukan persoalan secara adil agar tidak timbul perpecahan antar umat Islam dengan cara menunjukkan suatu kesalahan umat syiah dengan tidak meninggalkan tinjauan hukum pada Al Qur’an dan Sunnah (Hadist) serta dilengkapi dengan asal-usul sejarahnya. Disatu sisi beliau juga mengingat kewajiban umat Islam secara menyeluruh agar menghormati ahlul bait yang menyeru pada jalan tagwa.
Beliau tidak meruncing-runcingkan keadaan, tidak perlu memperlebar dikotomi antara kelompok syiah dan sunni. Cukup kesalahannya saja ditunjukkan berdasarkan hukum dan beliau termasuk yang hati-hati dalam menggunakan lebel “sesat”. Saya sendiri sangat menghormati cara pandang beliau, karena memang kita diperintahkan untuk meluruskan yang salah dengan cara yang adil sebagaimana tercantum dalam Surah Al Hujaraat, ayat 9. Lagi pula Allah-lah yang menguasai rahasia hati manusia dan haq Allah atas memberi hidayah kepada yang dikendaki-Nya sebagaimana diantaranya tercantum dalam Surah Al Hajj, ayat 16: “Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al Quran yang merupakan ayat-ayat yang nyata, dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”, Al Baqoroh, 272, dan Al An’am, 88.
Saat ini cukup banyak yang menyeru pada “kebaikan” untuk mengingatkan umat Islam agar menjadi umat yang rahmatan lil alamin, tetapi sayangnya tinjauan hukum Islam tidak dibahas secara menyeluruh, tinjauan hadist sering ditinggalkan dan bahkan Imam-imam Hadist -pun dijatuhkan. Saya katakan seruan mereka-mereka ini tidak sama dan bahkan bertolak belakang dengan Prof Buya Hamka. Tinjauan mereka lebih mengandalkan pada logika akal mereka yang akhirnya sering dijumpai bertentangan dengan yang disampaikan Rasul-Nya. Padahal sunnah Rasul Muhammad SAW (yang terkumpul dalam Kitab-kitab Al Hadist) adalah juga sumber hukum yang wajib bagi muslim mengingat kedudukan Rasullullah SAW yang dikuatkan dalam Al Qur’an dan beliau wajib ditaati, sebagaimana perintah Allah antara lain dalam Al Anfaal (1), (20) dan (24); Al A’raf (15); Al Hasyr (7); An Nur (54); Ali Imran (31); An Nisaa’ (59) dan (80); Al Ahzaab (36), apalagi dalam Surah Al-Ahzab (21) disampaikan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Jika dibaca buku-buku Prof Buya Hamka, beliau bukanlah ulama yang menyelisihi sunnah Rasul-Nya.
Anik K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar