.
Peneliti Sejarah dan Kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad.
PENELITI Sejarah dan Kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad menyebutkan Aceh memiliki potensi kebudayaan dan kepurbakalaan yang amat besar. Tapi sangat minim tenaga arkeolog yang dibutuhkan untuk menggali informasi tentang warisan budaya dan kepurbakalaan tersebut.
"Dengan potensi kepurbakalaan, potensi warisan budaya Aceh dalam dua kerajaan, Aceh Darussalam dan Samudra Pasai, sudah seharusnya ada Fakultas Arkelogi atau paling tidak Jurusan Arkeologi Islam, karena di Aceh memang pernah ada kerajaan Islam yang besar,” kata Taqiyuddin Muhammad akrab disapa Abu Taqi pada ATJEHPOSTcom, Senin, 17 Juni 2013.
Abu Taqi menyebutkan, Fakultas atau Jurusan Arkeologi Islam dapat dibuka di Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh dan IAIN Ar-Raniry. “Untuk menyiapkan tenaga arkeolog yang sangat dibutuhkan Aceh saat ini agar ke depan bisa menyingkap informasi yang lebih besar tentang kebudayaan dan kepurbakalaan,” katanya.
Tenaga pengajar Jurusan Arkeologi, kata Abu Taqi, bisa didatangkan dari Timur Tengah, Eropa dan nasional. “Tinggal kemauan, karena untuk riset Aceh tidak akan habis, mungkin butuh waktu puluhan tahun lagi,” kata Abu Taqi yang konsen meneliti sejarah Samudra Pasai sejak tahun 2006.
Menurut dia, beberapa masalah yang perlu ditanggulangi menyangkut kepurbakalaan di Aceh, sudah disampaikan oleh sejarawan sejak puluhan tahun silam, namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang serius dari pemerintah.
Sejarawan Aceh Rusdi Sufi, kata Abu Taqi, pada tahun 1980 telah menyatakan bahwa banyak objek kepurbakalaan yang menyebar di seluruh Aceh, maka sangat diperlukan suatu Balai Pusat Penyimpanan dan Penelitian Kepurbakalaan.
“Rusdi Sufi menyebutkan, kurangnya tenaga terampil dan ahli dalam bidang arkeologi, sehingga tampak adanya kesenjangan antara masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan masa kemerdekaan. Untuk mengatasi hal itu, Rusdi Sufi menyarankan perlu dibina atau dipersiapkan ahli-ahli dalam bidang arkeologi tersebut,” ujarnya.
Masih menurut Rusdi Sufi, banyak situs-situs kepurbakalaan yang letaknya di hutan-hutan dan paya-paya sulit dijangkau dan status tanah tidak jelas pemiliknya. Kata dia, masih banyak peninggalan sejarah dan purbakala yang perlu diselamatkan dari kehancuran dan kemusnahan.
“Hasil pengamatan kami, kondisi atau masalah-masalah yang dikemukakan sejarawan Rusdi Sufi sekitar tahun 1980, sampai saat ini masih seperti sediakala. Belum terlihat indikasi-indikasi yang mengarah kepada penangulangan dan penyingkapan terhadap masalah-masalah tersebut,” kata Abu Taqi.
Bahkan, kata Abu Taqi, hasil pantauan pihaknya yang terjadi belakangan ini justru kemerosotan. Itu sebabnya ia mempertegas kembali apa yang disampaikan Rusdi Sufi guna mengingatkan pemerintah dan pihak terkait lainnya tentang pentingnya penyelamatan dan penelitian secara menyeluruh.[]
"Dengan potensi kepurbakalaan, potensi warisan budaya Aceh dalam dua kerajaan, Aceh Darussalam dan Samudra Pasai, sudah seharusnya ada Fakultas Arkelogi atau paling tidak Jurusan Arkeologi Islam, karena di Aceh memang pernah ada kerajaan Islam yang besar,” kata Taqiyuddin Muhammad akrab disapa Abu Taqi pada ATJEHPOSTcom, Senin, 17 Juni 2013.
Abu Taqi menyebutkan, Fakultas atau Jurusan Arkeologi Islam dapat dibuka di Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh dan IAIN Ar-Raniry. “Untuk menyiapkan tenaga arkeolog yang sangat dibutuhkan Aceh saat ini agar ke depan bisa menyingkap informasi yang lebih besar tentang kebudayaan dan kepurbakalaan,” katanya.
Tenaga pengajar Jurusan Arkeologi, kata Abu Taqi, bisa didatangkan dari Timur Tengah, Eropa dan nasional. “Tinggal kemauan, karena untuk riset Aceh tidak akan habis, mungkin butuh waktu puluhan tahun lagi,” kata Abu Taqi yang konsen meneliti sejarah Samudra Pasai sejak tahun 2006.
Menurut dia, beberapa masalah yang perlu ditanggulangi menyangkut kepurbakalaan di Aceh, sudah disampaikan oleh sejarawan sejak puluhan tahun silam, namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang serius dari pemerintah.
Sejarawan Aceh Rusdi Sufi, kata Abu Taqi, pada tahun 1980 telah menyatakan bahwa banyak objek kepurbakalaan yang menyebar di seluruh Aceh, maka sangat diperlukan suatu Balai Pusat Penyimpanan dan Penelitian Kepurbakalaan.
“Rusdi Sufi menyebutkan, kurangnya tenaga terampil dan ahli dalam bidang arkeologi, sehingga tampak adanya kesenjangan antara masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan masa kemerdekaan. Untuk mengatasi hal itu, Rusdi Sufi menyarankan perlu dibina atau dipersiapkan ahli-ahli dalam bidang arkeologi tersebut,” ujarnya.
Masih menurut Rusdi Sufi, banyak situs-situs kepurbakalaan yang letaknya di hutan-hutan dan paya-paya sulit dijangkau dan status tanah tidak jelas pemiliknya. Kata dia, masih banyak peninggalan sejarah dan purbakala yang perlu diselamatkan dari kehancuran dan kemusnahan.
“Hasil pengamatan kami, kondisi atau masalah-masalah yang dikemukakan sejarawan Rusdi Sufi sekitar tahun 1980, sampai saat ini masih seperti sediakala. Belum terlihat indikasi-indikasi yang mengarah kepada penangulangan dan penyingkapan terhadap masalah-masalah tersebut,” kata Abu Taqi.
Bahkan, kata Abu Taqi, hasil pantauan pihaknya yang terjadi belakangan ini justru kemerosotan. Itu sebabnya ia mempertegas kembali apa yang disampaikan Rusdi Sufi guna mengingatkan pemerintah dan pihak terkait lainnya tentang pentingnya penyelamatan dan penelitian secara menyeluruh.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar