Ilustrasi situs sejarah.
PEMERHATI sejarah, Herman, meminta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh tidak hanya fokus pada pengembangan kepariwisataan, tetapi juga harus menyelamatkan situs-situs sejarah Samudra Pasai yang terancam hilang.
Permintaan tersebut juga dialamatkan kepada Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan (Dishubparbud) Aceh Utara, Dishubparbud Lhokseumawe, DPR Aceh, DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe.
Herman menyebutkan situs-situs sejarah yang belum terdaftar dalam inventaris dinas terkait sama sekali tidak memperoleh perhatian. Situs yang sudah terinvetarisir pun hanya berupa makam, tidak termasuk konstruksi bangunan, bekas pemukiman dan lingkungan peninggalan bersejarah atau ekofak.
“Situs-situs tersebut yang tersebar di Aceh Utara dan Lhokseumawe, semakin hari kian terancam oleh perluasan pemukiman dan lahan matapencaharian penduduk. Ancaman mungkin juga datang dari tangan jahil manusia dan para kaki tangan pedagang barang antik,” kata Herman.
Herman menilai kegiatan pelestarian yang dilakukan pihak dinas atau instansi pemerintah terkait pelestarian nilai-nilai kebudayaan dan kepurbakalaan, selain tidak optimal dan serius, belum menyentuh inti persoalan pelestarian.
Kegiatan pembangunan untuk pemugaran, kata Herman, selama ini hanya dipusatkan pada situs-situs yang sering dikunjungi wisatawan, pejabat, tamu luar daerah dan luar negeri. Di antaranya, kompleks Makam Sultan Malikussaleh dan Ratu Nahrasyiah di Kecamatan Samudra, Aceh Utara.
“Belum menyeluruh, masih banyak situs yang sudah terdaftar dalam inventaris kepurbakalaan dinas terkait, terabaikan. Nasibnya tergadai pada waktu dan keadaan,” katanya.
Ketua Central Information for Samudra Pasai Heritage (Cisah) Abdul Hamid menyebutkan Dinas Kebudayaan belum melakukan kegiatan pelestarian yang merujuk pada pola penanganan benda bersejarah dalam ilmu arkeologi untuk artefak-artefak, baik berupa nisan maupun lainnya.
“Belum dilakukan kegiatan penelitian arkeologis yang komprehensif untuk kawasan pusat heritage Samuda Pasai dan lainnya,” ujar Abdul Hamid.
Ia menilai Dinas Kebudayaan juga belum memberdayakan secara optimal kawasan warisan budaya Samudra Pasai untuk kawasan wisata sejarah dan religi. “Penting diberdayakan secara optimal agar sejalan dengan perkembangan dunia pariwisata yang semakin maju,” katanya.
Herman menambahkan, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) pada Bab 31 tentang Kebudayaan, pasal 221 ayat (1) disebutkan: Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam.
Pasal 221 itu menjelaskan bahwa ketentuan ini termasuk juga membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman budaya dan seni daerah dalam upaya mempertahankan jati diri dan membentuk kepribadian masyarakat Aceh. Lalu pasal (3) menyatakan: Pemerintah Aceh dan kabupaten kota mengakui, meghormati, dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai peraturan perundang-undangan.
“Kita berharap dinas terkait menjalankan amanat UUPA untuk pelestarian warisan budaya, termasuk penyelamatan situs-situs sejarah Samudra Pasai secara serius dan optimal,” ujar Herman.[]
Permintaan tersebut juga dialamatkan kepada Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan (Dishubparbud) Aceh Utara, Dishubparbud Lhokseumawe, DPR Aceh, DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe.
Herman menyebutkan situs-situs sejarah yang belum terdaftar dalam inventaris dinas terkait sama sekali tidak memperoleh perhatian. Situs yang sudah terinvetarisir pun hanya berupa makam, tidak termasuk konstruksi bangunan, bekas pemukiman dan lingkungan peninggalan bersejarah atau ekofak.
“Situs-situs tersebut yang tersebar di Aceh Utara dan Lhokseumawe, semakin hari kian terancam oleh perluasan pemukiman dan lahan matapencaharian penduduk. Ancaman mungkin juga datang dari tangan jahil manusia dan para kaki tangan pedagang barang antik,” kata Herman.
Herman menilai kegiatan pelestarian yang dilakukan pihak dinas atau instansi pemerintah terkait pelestarian nilai-nilai kebudayaan dan kepurbakalaan, selain tidak optimal dan serius, belum menyentuh inti persoalan pelestarian.
Kegiatan pembangunan untuk pemugaran, kata Herman, selama ini hanya dipusatkan pada situs-situs yang sering dikunjungi wisatawan, pejabat, tamu luar daerah dan luar negeri. Di antaranya, kompleks Makam Sultan Malikussaleh dan Ratu Nahrasyiah di Kecamatan Samudra, Aceh Utara.
“Belum menyeluruh, masih banyak situs yang sudah terdaftar dalam inventaris kepurbakalaan dinas terkait, terabaikan. Nasibnya tergadai pada waktu dan keadaan,” katanya.
Ketua Central Information for Samudra Pasai Heritage (Cisah) Abdul Hamid menyebutkan Dinas Kebudayaan belum melakukan kegiatan pelestarian yang merujuk pada pola penanganan benda bersejarah dalam ilmu arkeologi untuk artefak-artefak, baik berupa nisan maupun lainnya.
“Belum dilakukan kegiatan penelitian arkeologis yang komprehensif untuk kawasan pusat heritage Samuda Pasai dan lainnya,” ujar Abdul Hamid.
Ia menilai Dinas Kebudayaan juga belum memberdayakan secara optimal kawasan warisan budaya Samudra Pasai untuk kawasan wisata sejarah dan religi. “Penting diberdayakan secara optimal agar sejalan dengan perkembangan dunia pariwisata yang semakin maju,” katanya.
Herman menambahkan, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) pada Bab 31 tentang Kebudayaan, pasal 221 ayat (1) disebutkan: Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam.
Pasal 221 itu menjelaskan bahwa ketentuan ini termasuk juga membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman budaya dan seni daerah dalam upaya mempertahankan jati diri dan membentuk kepribadian masyarakat Aceh. Lalu pasal (3) menyatakan: Pemerintah Aceh dan kabupaten kota mengakui, meghormati, dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai peraturan perundang-undangan.
“Kita berharap dinas terkait menjalankan amanat UUPA untuk pelestarian warisan budaya, termasuk penyelamatan situs-situs sejarah Samudra Pasai secara serius dan optimal,” ujar Herman.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar