Rabu, 03 Desember 2014

Memori Rengasdengklok

Usia Republik Indonesia menginjak angka 68 Agustus mendatang. Peringatan kemerdekaan pun segera dimulai. Rakyat pun mensyukurinya dengan menggelar aneka perlombaan. Namun sayang, peringatan proklamasi dari tahun ke tahun terkesan formalitas belaka. Makna hakiki di balik kemerdekaan semakin tergerus oleh globalisasi. Bung Karno pernah mengatakan kepada bangsa ini agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dan, salah satu, jejak sejarah yang diabaikan banyak orang adalah peristiwa Rengasdengklok.
Kejadian sejarah yang terjadi sehari menjelang Proklamsi ini adalah buah dari tidak tercapainya titik temu antara golongan pemuda dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Para pemuda seperti Sukarni, Wikana, dan Yusuf Kunto mendesak agar Soekarno segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Sebelumnya, para pemuda telah mendengar berita mengenai luluh-lantahnya kota Hiroshima dan Nagasaki dari siaran radio BBC yang frekuensinya diambil secara diam-diam. Tak lama kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Keinginan pemuda ditolak Bung Karno. Bapak proklamator ini tetap pada skenario awal. Di mana Kekaisaran Jepang akan memerdekakan jajahannya itu melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada 7 Agustus 1945. Soekarno sendiri didaulat sebagai ketua dan Hatta wakilnya.
Makna Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok memang hanya berlangsung satu hari. Tapi, waktu yang singkat ini memberikan dua pelajaran penting untuk kita renungi. Pertama, kejadian Rengasdengklok menunjukkan bahwa golongan pemuda turut andil besar atas terciptanya proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi pemuda, urusan kemerdekaan bukan hanya milik tokoh-tokoh tua yang sudah lama memperjuangkannya. Bahkan pemuda yang tergabung dalam PETA–tentara semi militer bentukan Jepang–turut serta berjuang.
Militansi pemuda, bersama Sutan Sjahrir, dapat dilihat dengan keberanian mereka menggelar diskusi-diskusi gelap. Padahal itu adalah hal tabu bagi Jepang. Kegiatan organisasi politik sudah dilarang Jepang sejak kehadirannya tahun 1942. Bagi yang melanggarnya dikenai sanksi berat seperti hukuman mati. Memang, semangat membara (nasionalisme) para pemuda meraih kemerdekaan tidak sejalan dengan cara Soekarno-Hatta. Dwi tunggal tersebut lebih memilih cara berkompromi dengan Jepang. Tentunya ini memiliki dasar kuat.
Menurut Soekarno-Hatta, merdeka dengan cara clash terbuka terhadap Jepang akan sia-sia mengingat republik tidak memiliki persenjataan modern. Soekarno-Hatta bersikap realistis. Meskipun demikian, pertentangan pemuda dengan Soekarno-Hatta tidak bisa dilihat sebagai konflik an sich. Inilah dinamika sejarah yang harus mereka lalui. Toh, kedua belah kubu memiliki niat suci yang sama: Indonesia merdeka.
Kedua, peristiwa rengasdengengklok mematahkan argumen yang menyatakan kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Memang benar Jepang merangkul Soekarno-Hatta agar mau diajak bekerjasama. Terutama untuk menyediakan bahan pangan dan tambahan serdadu menghadang tentara sekutu. Dan Benar Soekarno cs menerima BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang sebagai persiapan kemerdekaan. Benar juga Soekarno, Hatta, dan R. Wedioningrat dipanggil oleh Panglima Tentara Jepang se-Asia Tenggara Jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam untuk mempersiapakan kemerdekaan Indonesia. Dan mungkin saja kemerdekaan benar-benar akan diberikan Jepang jika sekutu tidak membom nuklir Hiroshima dan Nagasaki. Namun, takdir sejarah berkata lain.
Kehendak sejarah justru memunculkan Rengasdengklok. Sebuah kota kecil di Karawang. Meski pernah disanggah Hatta, disinilah terjadi kompromi politik antara pemuda dan Soekarno-Hatta agar mau memerdekakan Indonesia tanpa campur tangan Jepang. Pemuda menilai, menerima “hadiah” merdeka dari Jepang justru akan mengakibatkan penolakan dari kelompok negara-negara Sekutu. Dari peristiwa rengasdengklok inilah badan bentukan Jepang bernama PPKI menjadi tidak berguna. Kalaupun ada sosok Laksamana Maeda, itu tidak bisa diartikan sebagai keterlibatan resmi Jepang. Sikap Maeda mengijinkan kediamannya sebagai tempat perumusan teks proklamasi lebih karena simpatinya terhadap perjuangan rakyat Indonesia.
Rengasdengklok kekinian
Memaknai Rengasdengklok dalam konteks kekinian, terutama bagi elite politik, adalah, pertama, kekuasaan bukanlah tujuan utama. Pertentangan pemuda dan golongan tua tidak didasari hasrat berkuasa. Konflik mereka dibangun pada pondasi bangunan yang sama yaitu terwujudnya satu bangsa yang merdeka. Merdeka bagi mereka saat itu adalah memiliki kedaulatan penuh baik lahir maupun batin. Gesekan yang timbul tidak serta membuat mereka untuk saling menjegal. Dinamika inilah yang tidak kita saksikan pada masa sekarang.
Elite politik, baik di tataran nasional maupun lokal, berlomba-lomba memperkaya diri dan kelompoknya. Mereka merampok uang rakyat pada saat perencanaan dan realisasi anggaran. Partai politik pun setali tiga uang. Salah satu pilar demokrasi ini hanya dijadikan kendaraan untuk mencari dan mempertahankan jabatan. Bukan pengabdian kepada rakyat. Lalu, pengusaha hitam dengan mudahnya menyogok pejabat negara karena aparat hukum juga telah disuap. Efek jera yang diharapkan dapat meminimalisir pejabat untuk berkorup ria tidak muncul karena pengadilan menghukum sesaat para koruptor. Telah terjadi kongkalikong kekuasaan di segala lini.
Kedua, peristiwa Rengasdengklok membuat kita bangga memiliki pemuda dengan kecerdasan intelektual tinggi, radikal dan nasionalis. Tak ada rasa takut sedikit pun melawan kolonisasi Jepang. Kini, enam puluh delapan tahun setelahnya, golongan pemuda berada pada titik nadir. Pemuda yang terjun ke dunia politik malah ikut arus pragmatisme. Berpetualang mencari kedudukan. Tidak ada lagi idealisme.
Sangat sulit bagi kita untuk melihat ada pemuda di dewan berperilaku seperti Bung Tomo yang lantang menyuarakan kebenaran. Yang muncul adalah sederatan nama-nama yang tersandung kasus korupsi berbagai proyek. Pada level masyarakat, kita acap kali menyaksikan tawuran antarsiswa atau mahasiswa. Museum dan perpustakaan lebih banyak kosong melompong. Itu karena pemuda kekinian lebih senang menghabiskan waktunya di pusat-pusat hiburan. Pemuda sekarang akan cepat tanggap jika ada keluaran gadget terbaru. Namun, abai melihat kekerasan di Papua, perampasan tanah masyarakat adat oleh korporasi, dan kekerasan atas nama agama.
Ketiga, Rengasdengklok mengajarkan kita untuk sejatinya selalu mengingat sejarah. Sejarah tidak boleh diartikan sebagai peristiwa masa lalu yang tidak memiliki makna. Karena sesungguhnya sejarah mengajarkan kita menjadi bangsa yang bermartabat. Sejarah adalah guru kebijaksanaan. Oleh karena itu, melupakan rengasdengklok berarti menuntun kita pada penghilangan jati diri bangsa. Kini, saatnya yang tepat bagi kita semua untuk merefleksikan ulang makna merdeka. Dan itu bisa dimulai dengan merenungi kembali peristiwa Rengasdengklok.

Amin S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar