Lanjutan dari Apa itu Liberalisme? yang saya baca dari pakar sejarah Islam, Dr KH Said Aqil Siroj menyebutkan bahwa munculnya liberalisme agama dalam islam bermula sejak naiknya Mu’awiyah ibn ‘Abiy Sofyan mendirikan Dinasti Umaiyah, untuk memberi legitimasi kekuasaannya yang ia rebut dari Khalifah ‘Aliy, Mu’awiyah menyebarkan ajaran Jabariyah yang menegaskan bahwa segala sesuatu sudah di takdirkan ALLAH. “Saya menang dan Aliy kalah adalah takdir ALLAH. Seandainya bukan takdir ALLAH, saya tidak akan menang dan Aliy tidak akan kalah,” begitulah ungkapan-ungkapan yang di kampanyekan Mu’awiyah untuk melegalkan tindakan pemberontakannya terhadap ‘Aliy sebagai pemimpin yang sah.
Jargon Mu’awiyah ini langsung mendapat kritik tajam dari putra sayidina ‘Aliy, yaitu Muhammad ibn ‘Aliy, lahir dari istri kedua yang bernama Khaulah binti Ja’far dari bani Hanifah. Menurut Kiai Said, Muhammad ibn ‘Aliy lebih cerdas dari Hasan dan Husain yang lahir dari istri pertamanya, Fatimah.
Untuk menangkis paham yang di sebarkan oleh Mu’awiyah, Muhammad ibn Aliy membuat rumusan pernyataan : afâlu al-ibâd mina al-ibâd lâ qada’ walâ qadar, (perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri bukan kehendak dan takdir ALLAH).
Kaum yang berpihak kepada Muhammad ibn ‘Aliy ini kemudian hari muncul dua kelompok, Pertama : kelompok ekstrim yang di sebut qadariyatu al-ulâ (paham Qadariyah pertama) yang tokohnya Ma’bad al-Juhhni. Kelompok ini mengatakan lâ qadâ’a wa lâ qadar wa al-’amru ‘unuf (perbuatan manusia itu bukan di tentukan dan di tetapkan oleh ALLAH sebelumnya melainkan baru terjadi).
Kedua : Kelompok Qadariyah moderat yang di sebut dengan Mu’tazilah yang tokohnya adalah Wâsil ibn ‘Atâ. kelompok kedua ini mngetakan lâ qadâ’a wa lâ qadar wa lakin Allah ya’lam, (perbuatan manusia itu bukan di tentukan dan di tetapkan oleh Allah, tapi Allah mengetahuinya).
Dr Hj Said Aqil Siroj
Selain itu, dalam wilayah partai politik muncul partai ekstrim yang mendukung ‘Aliy yang di sebut dengan Syi’ah, dan partai lain yang beroposisi dengan ‘Aliy yang di sebut dengan Khawarij. Selain kedua partai di atas, juga muncul kelompok lain yang bersikap tidak mau tahu dengan perselisihan antara ‘Aliy, ‘Aisyah, dan Mu’awiyah, dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Kelompok ini kemudian di sebut dengan Murji’ah
Pada mulanya Mu’tazilah adalah sebagai kelompok pemikiran yang meng-counter terhadap jabariyah. Namun pada akhirnya, yaitu pada masa Khalifah Ma’mun kelompok ini merambah ke wilayah politik. Dalam hal pemikiran, pada mulanya tokoh awal Mu’tazilah berpendapat bahwa akal adalah sebagai alat untuk memahami teks-teks keagamaan. Namun pada akhirnya yaitu pada masa ’Abu Hudzail al-Allaf sampai Zamhasyariy, peran akan di geser di atas wahyu.
Selain Mu’tazilah, ada pemikir liberal lain, yaitu Jabir ibn Hayyan. Setelah mampu mengubah batu biasa menjadi batu berharga, Jabir ibn Hayyan mengatakan bahwa saya akan menghidupkan orang yang sudah mati, namun usahanya itu tidak berhasil.
Komunitas pemikir liberal yang lain adalah al-Ihkwanu as-Safa yang mengatakan bahwa manusia yang ideal adalah agamanya Arab, nasabnya Persi, dan otaknya Yunani. Sebab menurut mereka orang Arab itu mulia hanya karena Islamnya saja, tapi nasab dan otaknya kurang baik.
Dalam bidang tasawuf, lanjut Kiai Said, pemikir yang liberal adalah al-Hallaj yang mengatakan anâ Allâh (saya adalah Tuhan). Maksudnya saya yang sesungguhnya adalah Allah. Ungkapan ini berbeda dengan perkataan Fir’aun yang mengatakan anâ rabukumu al-a’lâ (saya adalah than kalian semua). Ungkapan al-Hallaj tidak bermaksud mengaku dirinya sebagai Tuhan. Beda dengan halnya ungkapan Fir’aun.Menurut Kiai Sa’id, para pemikir liberal rata-rata mengatasnamakan pribadi. Seperti al-Hallaj yang mengatakan anâ Allâh, Ibnu Sina yang berpendapat bahwa alam itu qodim (dahulu) yang kemudian mendapat kritik tajam dari al-Ghazâliy dalam kitab Tahâfut falâ-sifahnya adalah sebagai pendapat pribadi.
Mereka rata-rata juga bukan sebagai pemimpin umat yang memiliki banyak pengikut. Hal ini berbeda dengan al-Ghazâliy, ‘Imâm Junaid al-Bagdadiy, ‘Imâm al-Mâturidiy, yang memiliki banyak pengikut sehingga dalam mengambil sikap lbih berhati-hati. Mereka tidak hanya berpikir ntuk dirinya, melainkan juga untuk masyarakat luas sehingga mereka lebih mengambil jalan tengah demi menjaga kemaslahatan umat.
Paham Liberal, kemudian intensif memasuki abad ke-18, yaitu pada masa Khalifah ‘Utsmâniyah di Turki. Ketika itu, Dinasti Syafâwiy dan Moghul berada di ambang kehancuran. Para ulama tampil dalam rangka memurnikan Islam, muncul Syah Waliyullah (1703-1762) ulama India, yang berpendapat, Islam harus mengikuti adat lokal setempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya.
Di Mesir, muncul intelektual Rafa-ah Rafi’ al-Tahtawiy (Mesir, 1801-1873) yang memasukan unsur-unsur Eropa dalam kajiannya, sedangkan Syihâbu addin Marjaniy (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukan pelajaran sekuler. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1888) pendiri Universitas Aligarkh, dan Amir ‘Aliy (1879-1928) yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad pelopor agung rasionalisme. Di Mesir muncul Muhammad Abduh (1849-1905) dan Qâsim ‘Amin (1865-1908), kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita. Aliy Abd ar-Raziq (1888-1966) yang berpandangan Islam tidak memiliki dimensi politik dan Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa misi utama al-Qur’ân adalah demo-krasi. Sedang Hasan Hanafiy terkenal sebagai tokoh “kiri Islam” dengan bukunya “al-Yasâr al-Islamiy”.
2 tokoh liberal
Di Pakistan terdapat Fazlur Rahman (lahir 1919), di Sudan muncul ‘Abdullah Ahmed an-Na’im dan DR Nasr Hâmid ‘Abu Zayd, dan di Maroko lahir Muhammed Sa’id al-Jabiriy. Sedang di Aljazair lahir Muhammad Arkoun (lahir 1928), akademisi Universitas Sorborn Prancis yang memperkenalkan teori Hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an.
Akhirnya di Indonesia pun muncul beberapa tokoh pembaharu pemikir Islam di antaranya seperti Nurcholis Majid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo dan lainnya.
Klimaksnya tatkala sejumlah intelektual muda mendeklarasikan Jaringan Islam Liberal (JIL), yang di otaki Ulil Abshar Abdalla, Budi Munawar Rachman, Saiful Mudjanni, Taufik Adnan Amal, Ahmad Sahal, Deny J.A, Sukidi, Zuhairi Misrawi, Ikhsan Ali Fauzi, Rizal Mallarangeng, Rizal Panggabean, Luthfi Asy-Syaukani dan lainnya.
Meski baru seumur jagung, gaung dan isu kontroversi yang di kedepankan JIL tak urung menuai Pro-Kontra di antara umat Islam. Faktor pemicu lahirnya JIL, awalnya sebagai counter terhadap gerakkan Islam radikal di Indonesia. JIL memposisikan diri sebagai penyeimbang sekaligus penghadang pemikiran militan fundamentalis.
Namun JIL belakangan membuat gaduh suasana, lantaran mengkritik dan melakukan dekonstruksi terhadap syari’ah dan doktrin Islam yang telah mapan. JIL tak hanya mengotak-atik pada rana mu’amalat, tapidia mask jauh mengobrak-abrik wilayah ubudiyat dan bahkan ilahiyyat. Puncaknya ketika Ulil Abshar menulis artikel berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang di muat harian Kompas pada 18 November 2002 silam.
Isu-isu JIL yang berslogan “Menuju Islam yang ramah, toleran, dan membebaskan” cepat tersebar luas lantaran jaringan yang di miliki. Lewat Kajian Utan Kayu (KUK), ide itu tersebar melalui media cetak (tak kurang dari 51 koran) dan radio KBR 68 H yang di pancarkan keseluruh Indonesia.
cerita ini saya kutip dari
Risalah Edisi III
Laporan Nur Wahid dan Washiel Hifdzy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar