Sebuah alasan mengapa takfirisme-wahabisme bisa subur di lingkungan Arab badui, persis sebagaimana tumbuhnya takfirisme-zionisme di lingkungan Yahudi. Apa yang menyatukan keduanya? Keduanya percaya dan ingin kita percaya kalau mereka bisa memonopoli agama dalam kotak suku dan ras mereka yang sempit. Takfiriyah!
Dan bukan suatu kebetulan bila sejumlah ayat Al-Quran mencemooh perilaku munafik dan kufur bangsa Arab. Ayat-ayat itu sepertinya mengisyaratkan bahaya monopoli suku Arab atas ajaran Islam yang agung yang menyebarkan penyakit takfiri dan merusak hakikat Islam. Namun, sebagai antisipasi jelas atas bahaya monopoli itu, Al-Quran menegaskan bahasa Arab yang lugas dan jelas yang dipakainya berbeda dengan entitas Arab sebagai suku-bangsa dan kesukuan.
Seperti rasisme, takfirisme berselubung di balik kedok Salafisme dan Wahabisme yang sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan superioritas ras dan suku Arab atas selainnya. Lebih tepatnya, superioritas suku-suku Arab yang hidup di gurun sahara Arab Saudi, khususnya wilayah Najd, atas seluruh suku bangsa lain. Ironisnya, superiotitas kosong dan konyol itu mereka tutupi dengan jubah Islam yang agung dan suci.
Bagaimana mungkin agama yang suci bersih ini dapat diwakili oleh segerombolan fanatik dan tribalistik seperti ini?
Tentu tidaklah mungkin memecahkannya. Untuk sekedar menunjukkan kekonyolan takfirisme wahabi ini, kita dapat dengan mudah meneliti berapa banyak karya yang telah mereka sumbangkan dalam khazanah pemikiran Islam? Atau lebih umum lagi, berapa sedikit sumbangan mereka terhadap kemajuan manusia dan kemanusiaan? Jawabannya? Tak usah kaget: nol!
Perbedaan metode Wahabi-Salafi Takfiri dan metode saintis dalam mengenal Allah. Takfiri menemukan tulisan Allah dalam sebutir kentang, sementara saintis menemukan kebesaran Ilahi dalam penemuannya tentang keteraturan pola zat-zat kimia dan partikel-partikel fisik yang kecil. Photo kiriman Twitter/ @Jeanassy
Celakanya lagi, takfirisme menjadi justifikasi pada invasi kekuatan-kekuatan asing terhadap negara-negara Muslim. Maraknya takfirisme di negara Muslim mana pun, dapat dianggap sebagai aba-aba akan munculnya serangan asing dengan berbagai bentuk dan cara, termasuk di Indonesia.
Karena takfirisme mewabah dalam sebuah masyarakat Muslim, maka niscaya mengakibatkan ketahanan dan kekuatan masyarakat itu lenyap dan tergerus dalam pertikaian internal yang tiada habis-habisnya. Ketika sampai puncaknya, sebagaimana dalam kasus negara-negara seperti Afghanistan, Somalia, Yaman, Suriah, Irak dan lainnya, maka invasi militer asing di tengah negara-negara yang masyarakatnya tercabik-tabik itu menjadi mudah.
Selain menyebabkan pertikaian yang tak kunjung usai, takfirisme juga dapat membuat kalangan moderat dan waras hidup dalam ancaman dan keputusasaan.
Bagaimana mungkin masyarakat dapat berhubungan dengan sekelompok orang yang sejak semula telah meniadakan keberadaan kita, bersikukuh untuk menghabisi kita, menolak apapun pernyataan kita, bahkan merasa memahami keyakinan kita lebih dari kita sendiri? Sekelompok ini juga berkeinginan mengambil satu-satunya yang tidak mungkin diambil, ternasuk apa yang ada dalam hati dan pikiran kita.
Sekali lagi, takfirisme bukanlah sekedar penyakit yang dapat muncul dalam satu penganut mazhab, agama atau suku bangsa tertentu, tetapi ia dapat menular kemana-mana, termasuk potensi sikap takfiri yang bersumber dari ekstremisme, intoleransi, arogansi, dan superioritas.
Dan sikap ini lahir dari rendahnya perikemanusiaan, hilangnya perasaan, psikosis, dan kebencian yang akut dan merasa paling benar dan semua aktifitasnya seolah mewakili Tuhan, termasuk kavling surga dengan teriak-teriak “Allahu Akbar”. [BH]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar