Sahabat Sherlock Holmes yang berbahagia, kita semua sudah mafhum jika strategi Islamisasi, khususnya di Indonesia, melalui dua metode:
Pertama, Top Down. Melalui pucuk terlebih dulu, baru di akar rumput. Jika raja/penguasa memeluk Islam, rakyat otomatis mengikutinya. Strategi ini diterapkan di kerajaan-kerajaan dengan struktur patronisme yang kuat, seperti di Malaka dan Gowa. Raja adalah bayang-bayang bahkan keturunan Dewa di muka bumi. Ia adalah manifestasi suprastruktur yang ada dalam piramida kekuasaan. Ketika puncak piramida dikunci, struktur bawah akan mengikuti. Jika dilihat, metode ini bisa berhasil jika raja memiliki kharisma yang kuat, militer solid yang didukung panglima yang loyal, dan tidak memiliki negara fassal. Diplomasi dai/muballigh juga dilakukan secara simultan dan berkesinambungan serta memiliki pengaruh kuat di kalangan elit istana.
Hal di atas akan menjadi pertimbangan seorang penguasa saat memeluk Islam dan melakukan Islamisasi di kalangan akar rumput, setelah mempertimbangkan stabilitas kekuasaan internalnya dan geopolitik di kawasan (eksternal).
Di era pasca kemerdekaan, strategi ini pernah coba dilakukan oleh DI/TII, namun gagal. Kegagalan ini, di antaranya, karena terlalu frontal dalam perjuangannya dengan memaksakan kehendak kepada rakyat tanpa didukung basis gerakan yang kuat dan konsep mapan yag siap pakai. Kegagalan lainnya, di antaranya, karena terlalu mencolok menampilkan warna ideologi di tengah kompleksitas dan warna-warni unsur kebangsaan, sehingga cepat layu sebelum mekar. Faktor lainnya, DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat menumpang kekecewaan sektoral-primordial di berbagai daerah dengan menggandeng Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Akhirnya soliditas dan solidaritas mereka gampang dipatahkan. Inilah di antara pelajaran yang diperoleh PKI. Partai ini belajar dari kegagalan FDR 1948 di Madiun, dan DI/TII di berbagai wilayah, sehingga dalam aksi 1965, mereka memilih jantuh Indonesia sebagai basis gerakan. Inipun berhasil dipatahkan dengan kompleksitas faktor internal maupun eksternal.
Kembali ke bahasan semula, proses Islamisasi menggunakan pola Top-Down pasca kemerdekaan selalu mengalami kegagalan. Mengapa? karena gerakannya tidak memiliki penyangga yang kokoh sebagaimana dilihat dari pola Islamisasi di Malaka dan Gowa. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pola perdebatan di Majelis Konstituante tahun 1950-an. Inilah yang dianggap sebagai kegagalan oleh Islam politik dalam upaya mewujudkan Islamisasi Negara, meskipun kelompok Islam lain, seperti ormas-ormas Islam yang berdiri pra kemerdekaan tetap optimis dan kukuh bergerak melalui caranya masing-masing. Pola Top-Down ini juga sempat menjadi magnet pasca reformasi, yang ditandai dengan berdirinya ormas-ormas Islam ter”mutakhir”. Sayangnya, ada semacam kegagalan partai-partai Islam tatkala “menjual” Piagam Jakarta pasca reformasi, baik dalam kampanye maupun dalam parlemen.
Kedua, pola Bottom Up. Ini pola yang dijalankan oleh, di antaranya Walisongo dan murid-muridnya di berbagai kawasan. Islamisasi Majapahit adalah salah satu contohnya. Para panyebar Islam menyisir kawasan pinggir terlebih dulu, di kawasan pesisir, dengan mendirikan kantong-kantong santrinisasi. Mereka tidak merangsek langsung ke elit Istana karena menimbang resiko instabilitas dan dampak yang akan menimpa basis-basis santri yang telah terbentuk.
Strategi ini bisa dijalankan dengan mempertimbangkan; kharisma raja mulai pudar sungguhpun ia tetap dianggap titisan dewa, negara-negara fassal mulai membangkang, banyaknya warlord (penguasa lokal) yang memiliki daya tawar terhadap pusat (Lasem, Wengker, Kediri, Tuban, Ujung Galuh adalalah contoh mulai menguatnya para adipati/warlord menjelang runtuhnya Majapahit), serta aspek geopolitik yang tak lagi setangguh sebelumnya.
Walisongo menggunakan strategi ini karena menilai cara damai lebih elegan, memikat dan jitu dalam Islamisasi Nusantara. Cara ini memang terkesan lamban dan lama, tapi akan lama pula bertahan di sanubari masyarakat.
“Islamisasi Masyarakat” terlebih dulu, inilah esensinya. Ada kenikmatan dakwah di sini dengan beragam tantangan dan hambatannya. Jika masyarakat sudah Islam, penguasa akan mengikuti mayoritas rakyatnya. Islamisasi ini dijalankan dengan cara damai, jauh dari aksi militer dan peperangan, dan dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor dan “local wisdom” yang menguratnadi di akar rumput. Maka yang dilakukan Walisongo bukan membentuk barisan “mujahid” radikal, melainkan mendirikan basis basis perguruan Islam melalui sebagai kawah candradimuka ulama yang bakal melanjutkan perjuangannya. Ya, Pesantren!
Maka, masyarakat yang berporos pada basis-basis ini “tidak tertarik” melakukan Islamisasi Negara melalui puncak alias Top Down. Mereka kukuh menjadi benteng Islamisasi Bottom Up yang terkesan lamban, kurang keren (karena tanpa slogan bombastis), dianggap tidak “kaffah” (oleh mereka yang menilai dirinya sudah berIslam secara kaffah), dan dinilai sebagai Islam Tradisional yang tidak berwawasan kosmopolit (oleh pihak yang menganggap dirinya Islam reformis).
–
Allahu A’lam
Rijal Mumazziq Z
Pertama, Top Down. Melalui pucuk terlebih dulu, baru di akar rumput. Jika raja/penguasa memeluk Islam, rakyat otomatis mengikutinya. Strategi ini diterapkan di kerajaan-kerajaan dengan struktur patronisme yang kuat, seperti di Malaka dan Gowa. Raja adalah bayang-bayang bahkan keturunan Dewa di muka bumi. Ia adalah manifestasi suprastruktur yang ada dalam piramida kekuasaan. Ketika puncak piramida dikunci, struktur bawah akan mengikuti. Jika dilihat, metode ini bisa berhasil jika raja memiliki kharisma yang kuat, militer solid yang didukung panglima yang loyal, dan tidak memiliki negara fassal. Diplomasi dai/muballigh juga dilakukan secara simultan dan berkesinambungan serta memiliki pengaruh kuat di kalangan elit istana.
Hal di atas akan menjadi pertimbangan seorang penguasa saat memeluk Islam dan melakukan Islamisasi di kalangan akar rumput, setelah mempertimbangkan stabilitas kekuasaan internalnya dan geopolitik di kawasan (eksternal).
Di era pasca kemerdekaan, strategi ini pernah coba dilakukan oleh DI/TII, namun gagal. Kegagalan ini, di antaranya, karena terlalu frontal dalam perjuangannya dengan memaksakan kehendak kepada rakyat tanpa didukung basis gerakan yang kuat dan konsep mapan yag siap pakai. Kegagalan lainnya, di antaranya, karena terlalu mencolok menampilkan warna ideologi di tengah kompleksitas dan warna-warni unsur kebangsaan, sehingga cepat layu sebelum mekar. Faktor lainnya, DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat menumpang kekecewaan sektoral-primordial di berbagai daerah dengan menggandeng Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Akhirnya soliditas dan solidaritas mereka gampang dipatahkan. Inilah di antara pelajaran yang diperoleh PKI. Partai ini belajar dari kegagalan FDR 1948 di Madiun, dan DI/TII di berbagai wilayah, sehingga dalam aksi 1965, mereka memilih jantuh Indonesia sebagai basis gerakan. Inipun berhasil dipatahkan dengan kompleksitas faktor internal maupun eksternal.
Kembali ke bahasan semula, proses Islamisasi menggunakan pola Top-Down pasca kemerdekaan selalu mengalami kegagalan. Mengapa? karena gerakannya tidak memiliki penyangga yang kokoh sebagaimana dilihat dari pola Islamisasi di Malaka dan Gowa. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pola perdebatan di Majelis Konstituante tahun 1950-an. Inilah yang dianggap sebagai kegagalan oleh Islam politik dalam upaya mewujudkan Islamisasi Negara, meskipun kelompok Islam lain, seperti ormas-ormas Islam yang berdiri pra kemerdekaan tetap optimis dan kukuh bergerak melalui caranya masing-masing. Pola Top-Down ini juga sempat menjadi magnet pasca reformasi, yang ditandai dengan berdirinya ormas-ormas Islam ter”mutakhir”. Sayangnya, ada semacam kegagalan partai-partai Islam tatkala “menjual” Piagam Jakarta pasca reformasi, baik dalam kampanye maupun dalam parlemen.
Kedua, pola Bottom Up. Ini pola yang dijalankan oleh, di antaranya Walisongo dan murid-muridnya di berbagai kawasan. Islamisasi Majapahit adalah salah satu contohnya. Para panyebar Islam menyisir kawasan pinggir terlebih dulu, di kawasan pesisir, dengan mendirikan kantong-kantong santrinisasi. Mereka tidak merangsek langsung ke elit Istana karena menimbang resiko instabilitas dan dampak yang akan menimpa basis-basis santri yang telah terbentuk.
Strategi ini bisa dijalankan dengan mempertimbangkan; kharisma raja mulai pudar sungguhpun ia tetap dianggap titisan dewa, negara-negara fassal mulai membangkang, banyaknya warlord (penguasa lokal) yang memiliki daya tawar terhadap pusat (Lasem, Wengker, Kediri, Tuban, Ujung Galuh adalalah contoh mulai menguatnya para adipati/warlord menjelang runtuhnya Majapahit), serta aspek geopolitik yang tak lagi setangguh sebelumnya.
Walisongo menggunakan strategi ini karena menilai cara damai lebih elegan, memikat dan jitu dalam Islamisasi Nusantara. Cara ini memang terkesan lamban dan lama, tapi akan lama pula bertahan di sanubari masyarakat.
“Islamisasi Masyarakat” terlebih dulu, inilah esensinya. Ada kenikmatan dakwah di sini dengan beragam tantangan dan hambatannya. Jika masyarakat sudah Islam, penguasa akan mengikuti mayoritas rakyatnya. Islamisasi ini dijalankan dengan cara damai, jauh dari aksi militer dan peperangan, dan dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor dan “local wisdom” yang menguratnadi di akar rumput. Maka yang dilakukan Walisongo bukan membentuk barisan “mujahid” radikal, melainkan mendirikan basis basis perguruan Islam melalui sebagai kawah candradimuka ulama yang bakal melanjutkan perjuangannya. Ya, Pesantren!
Maka, masyarakat yang berporos pada basis-basis ini “tidak tertarik” melakukan Islamisasi Negara melalui puncak alias Top Down. Mereka kukuh menjadi benteng Islamisasi Bottom Up yang terkesan lamban, kurang keren (karena tanpa slogan bombastis), dianggap tidak “kaffah” (oleh mereka yang menilai dirinya sudah berIslam secara kaffah), dan dinilai sebagai Islam Tradisional yang tidak berwawasan kosmopolit (oleh pihak yang menganggap dirinya Islam reformis).
–
Allahu A’lam
Rijal Mumazziq Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar