Selasa, 16 Desember 2014

Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Wacana Penerapannya di Masa Kini

13714005261531284770
Demonstrasi HTI Menolak Kenaikan Harga BBM
Entah ini perasaan saya saja, atau memang saat ini berbagai macam suara tentang penegakan sistem Khilafah sebagai dasar negara, semakin banyak didengungkan di Indonesia. Suara-suara tersebut datang dari berbagai arah, baik melalui media sosial, forum-forum diskusi hingga aksi demonstrasi di jalanan.
Organisasi kemasyarakatan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan ormas Islam Konservatif lainnya menjadi pasukan garda terdepan yang rajin meneriakkan konsep Khilafah Islamiyah ini. Secara perseorangan, mungkin tokoh-tokoh seperti Abu Bakar Baasyir, Hafidz Ary hingga Ustadz “anti pacaran”, Felix Siauw adalah yang sangat getol mempromosikan sistem ini.
Sebagai yang berambisi menegakkan sistem Khilafah di Indonesia (bahkan di seluruh dunia), tentu saja pihak-pihak tersebut menyampaikan bagaimana luar biasa sempurnanya sistem Khilafah. Khilafah seringkali diidentikkan dengan sistem “Tuhan” yang -tentu saja bagi mereka yang meyakininya- tanpa cela setitikpun, paling baik diterapkan di manapun, dan mampu memberikan jaminan berkah dan surga dari Tuhan.
Sistem Khilafah dapat didefinisikan sebagai “sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul SAW, dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW”. Jadi, dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem Khilafah ini dimulai pertama kali ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq memegang pemerintahan sepeninggal Muhammad bin Abdullah, rasul Umat Islam, pada tahun 632 Masehi.
Di masa kini, di mana sistem negara Islam yang berdasarkan ke-Khalifah-an murni sudah tak lagi dipakai oleh negara manapun, banyak pihak yang merindukan kembalinya sistem tersebut untuk dijalankan secara murni dan “kaffah”, seperti pada masa lampau. Wacana ini terus dilemparkan ke publik dengan -tentu saja- berbagai puja-puji dan klaim “kesempurnaan”nya sebagai sebuah sistem.
Namun, marilah kita sejenak menoleh ke belakang. Apakah memang benar sistem Khilafah meupakan sistem kenegaraan dan politik yang sempurna dan mampu memberikan kebaikan bagi orang banyak? apakah memang benar bahwa negara Khilafah Islamiyah adalah bentuk terbaik bagi sebuah negara?
Dalam perjalanan sejarahnya, sistem Khilafah ternyata menyimpan banyak cerita kelam yang mungkin hanya sedikit orang saja yang pernah mendengarnya. Mulai dari maraknya KKN, hingga darah yang deras bercucuran demi sebuah kekuasaan.
Dimulai dari masa pemerintahan Ustman bin Affan (Khalifah atau Pemimpin negara Islam pengganti Umar bin Khattab) yang dipenuhi dengan praktik nepotisme, dengan mengangkat Walid ibn Uqubah (saudara seibu Usman) sebagai gubernur Kufah menggantikan Sa’ad bin Abi Waqqas. Bukan hanya itu, Abdullah bin Amir bin Kurasy, Abdullah bin Sarrah dan Marwan bin Hakam, yang notabene merupakan saudara-saudara Utsman, dihadiahi posisi-posisi empuk di pemerintahan. Kebijakan-kebijakan kontroversial itulah yang lalu -dengan sangat ironik- mengantarkan Utsman ke liang lahat.
Tak hanya itu saja, pada perjalanannya, sistem Khilafah juga meninggalkan jejak “saling bunuh antara saudara seiman”. Latar belakangnya? basi, masalah kekuasaan. Dimulai dari Ali Bin Abi Thalib yang dihabisi Mu’awiyah bin Abu Sufyan (yang dilatarbelakangi kudeta yang dilakukan atas rezim Utsman bin Affan), hingga banyak perang antar “Bani”.
Yang paling mengerikan, mungkin adalah sebuah peristiwa yang terjadi ketika Bani Abbasiyah menyerang Bani Ummayah pada abad 13. Ketika Bani Abbasiyah menaklukkan kota Damsyik yang merupakan pusat pemerintahan Bani Ummayah, pasukan Abbasiyah memainkan pedangnya di kalangan penduduk , sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya.
Tak cukup puas dengan itu, ketika mereka menemukan jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
“Ah, itu kan tergantung personal masing-masing pemimpin. Nyatanya, masa Khilafah pernah mengalami masa keemasan dan menguasai banyak wilayah, bahkan sampai ke daratan Eropa..”
Mungkin begitu klaim pihak yang pro-Khilafah…
Tapi tunggu. Memang benar pada masa rezim Abbasiyah, kekuasaan mereka sangat luas. Tapi lihatlah bagaimana mereka menaklukkan daerah-daerah tersebut. (Lagi-lagi) Dengan invasi dan cucuran darah. Lagipula, sebuah sistem yang memberi kekuasaan mutlak bagi penguasanya, tentu saja akan membuka potensi tirani.
Sebagai catatan, sistem Khilafah tidak mengenal sistem pemilihan umum dalam menentukan siapa pemimpinnya. Sang Khalifah dipilih melalui bai’at dari forum ulama. Jadi, siapa yang bisa menjamin “forum ulama” tersebut tidak bebas kepentingan? selain itu, dalam sistem Khilafah, fungsi masyarakat begitu kecil dalam pemerintahan. Kurangnya kontrol dari rakyat, tentu saja akan berimbas pada kehancuran suatu negara.
Di dunia modern saat ini, sistem khilafah yang murni tentu saja tak bisa diterapkan. Majunya teknologi dan komunikasi jelas berdampak pada semakin cerdasnya masyarakat akar rumput. Masyarakat kini sudah tak mampu lagi dibungkam dan semakin kritis terhadap berbagai macam hal, termasuk terhadap kebijakan pemerintah di negaranya masing-masing.
Jadi, mungkin saya tak berlebihan jika menyebut suara-suara yang menyerukan penerapan Khilafah di negara mereka masing-masing (dan ambisi yang lebih besar, di seluruh dunia) adalah mimpi di siang bolong. Demokrasi sudah menang (itu kenyataannya) dan sudah menjadi sebuah sistem yang saat ini paling tepat -walaupun masih jauh dari sempurna- untuk diterapkan. Namun setidaknya, demokrasi selalu membuka jalan untuk perbaikan-perbaikan untuk kekurangan yang ada saat ini.
Saya tak bisa membayangkan, jika Khilafah Islamiyah diterapkan di masa kini, akan semakin banyak Malala-Malala lainnya di berbagai pelosok dunia. (Sebagai catatan, Malala adalah gadis cilik dari Afghanistan yang nyaris mati di berondong senjata oleh Taliban, karena memperjuangkan hak mendapatkan pendidikan bagi gadis-gadis seusianya)
De B M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar