PENYAIR berdarah Minang, Zubaidah Djohar (39 tahun), merangkum ingatan tentang kekelaman Aceh dalam buku “Pulang Melawan Lupa.” Buku terbitan Lapena, Banda Aceh, itu dibincangkan dari berbagai sisi dalam diskusi di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (14/6). Pembicara dalam diskusi itu, penyair, aktivis perempuan, dan jurnalis.
Zubaidah Djohar, ibu dua anak, bersuamikan aktivis Aceh, menuliskan puisi-puisi kelam itu setelah melakukan serangkaian penelitian terhadap perempuan Aceh korban kekerasan pada masa konflik Aceh.
“Pulang Melawan Lupa,” mengantarkan ingatakan kita pada lorong gelap peradaban, tentang bunyi kokang senjata, dan teriak amarah. “Kutembak kau! Kutembak kau!!!” saat melintas di depan markas militer, hanya karena kecepatan kendaraan di atas 25 Km per jam.
Tentang kenangan wajah-wajah tanpa darah, dengan guratan ketakutan, delapan penumpang L-300 sepanjang perjalanan menuju perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Ruang bus kecil itu sunyi. Hanya degup maut yang mengetuk ngetuk dada tiap kelokan.
“Sumur Tua” salah satu puisi yang dimuat dalam antologi itu, seolah lukisan nyata tentang peristiwa kekejaman terhadap perempuan, seperti yang dialami anak perempuan Abdullah. Dia disergap, disumbat, diikat, ditindih dengan senjata, dan diperkosa. Gambaran senada terdapat dalam puisi “Jejak Rumoh Geudong (1), Jejak Rumoh Geudong (2)” dan lain-lain.
“Rumoh Geudong” menorehkan coretan kekejaman 1989-18 Agustus 1998, sebelum kemudian bangunan itu hangus terbakar.
Lantas apa yang bisa dibaca dari Aceh setelah Helsinki? “Mereka tak peduli ringkih tubuhku, mereka tak peduli nyanyian sawah ladangku,” kabar Zubaidah dalam “Mereka tak Peduli Sawah Ladangku.” Ada pula yang melarikan bantuan untuk perempuan-perempuan malang itu dalam puisi “Lelaki Itu” atau perlakukan perih yang diterima dalam puisi “Bantuan Yang Melaharkan.”
Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005 yang menghentikan perang setelah tsunami yang dahsyat, ternyata tak mengubah perempuan korban kekerasan di Aceh yang menerima derita berganda-ganda. Sedianya, setelah perjanjian disemai, lahirlah putik, lahirlah buah penawar luka, penawar derita. Sedianya setelah perjanjian itu mekarlah kelopak, semerbak bunga.
Kata Zubaidah dalam “Oh Ini Damai Itu, Tuan”, justru para petarung angkat senjata untuk kuasa dan harta. Perkelahian antar-petarung diurai terbuka di depan mata. Angka kemiskinan 19 persen.
Indek pembangunan manusia belum ideal. Aceh menjadi daerah 10 termiskin. Malah, Aceh dalam laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), menjadi provinsi terkorup kedua setelah DKI Jakarta*
Fungsi puisi
Kumpulan puisi “Pulang Melawan Lupa,” Zubaidah Djohar, mempertegas betapa puisi mengemban fungsi penting dalam merawat ingatan. Seperti Toet penyair Gayo, mengabarkan
kerja paksa di zaman Jepang di Lumut, Aceh Tengah, atau bencana tanah longsor Redines Lukup Sabun dan tragedi kecelakaan bus penumpang di Cot Panglima, juga karamnya KMP Gurita di perairan Sabang, menenggelamkan banyak penumpang.
Begitu juga dengan penyair Daman Dewantara, melantunkan puisi “Aman,” menyeru perdamaian dalam konflik DI/TII. Puisi itu disuarakan melalui pengeras suara masjid desa dan kota.
“Pulang Melawan Lupa” karya Zubaidah, Seperti juga “Smong,” puisi yang menyelamatkan manusia Simeulue pada peristiwa gempa dan tsunami 26 Desember 2004. “Smong,” puisi yang dituturkan turun temurun menasihatkan agar mencari tempat tinggi tatkala melihat laut surut setelah gempa terjadi. “Smong” menyebut “tsunami itu air mandimu, gempa itu ayunanmu, petir itu gendangmu, kilat dan halilintar itu suluhmu.”
Begitulah puisi di Aceh, bukan sekadar kumpulan kalimat indah, melainkan memiliki pesan dan fungsi penyelamatan kemanusiaan. Atau mengobarkan semangat juang dalam Hikayat Perang Sabil, yang dibacakan sebelum tarung di kancah laga menumpas Belanda.
Fungsi penting puisi itu terus diteruskan sampai sekarang. Semoga, semua kita, termasuk para politisi lebih rajin membaca puisi. Seperti kata Albert Camus, “Politik membelah, membagi, puisi menyatukannya kembali.”
* Fikar W. Eda, penyair. Wartawan Serambi Indonesia ini juga menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar