Salah satu sudut Kota Sabang. @ATJEHPOSTcom/Ihan Nurdin
Hari ini, 24 Juni 2013, daerah otonom yang berada paling barat Indonesia, Sabang, berulang tahun yang ke-48.
Pada tanggal 14 Juni 1965, Presiden Republik Indonesia Soekarno menandatangani Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapraja Sabang. Pada tanggal 24 Juni 1965, Sabang sebagai salah satu daerah yang sekarang dikenal dengan Kota Madya diresmikan.
Sejak saat itu, Sabang berpisah dari kabupaten induknya yaitu Aceh Besar. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965 tersebut dijelaskan bahwa yang menjadi kawasan Sabang adalah Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulake dan Pulau Rondo.
Ada satu versi sejarah yang mengatakan nama Sabang berasal bahasa Arab, Shabag, yang artinya gunung meletus. Nama tersebut diberikan oleh para pedagang Arab yang datang ke pulau Weh. Sabang memiliki satu gunung berapi yang bernama Sarong Kreih.
Dalam website resmi Pemerintah Kota Sabang disebutkan, jauh sebelum kedatangan pedagang Arab, seorang ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan tiba di sebuah pulau di ujung Sumatera yaitu pulau Weh, dia menyebut pulau tersebut dengan pulau Emas.
Seorang pelaut ulung, Sinbad, juga pernah berlayar dari Sohar, Oman menyusuri pantai di tepi Samudera Hindia melalui rute Maldives, pulau Kalkit India, Srilangka, Andaman, Nias, pulau Weh, Penang hingga ke Canton, Cina. Ketika di pulau Weh, dia menyebut pulau tersebut dengan pulau Emas. Tak ada catatan sejarah yang menyebutkan kenapa pulau tersebut dinamakan pulau Emas.
Jalur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur melalui Selat Sunda dan langsung ke Cina atau Indonesia Timur. Tetapi ketika Terusan Suez dibuka oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1869, jarak dari Eropa menuju ke timur semakin pendek melalui Selat Malaka dan Sabang menjadi ramai.
Dari dulu hingga sekarang, Sabang dikenal dengan pelabuhan karena posisinya yang strategis. Sejak masa kolonial Belanda, pemerintahan Indonesia di bawah Sukarno, Orde baru, hingga setelah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia, status pelabuhan di Sabang naik turun.
Sejak 1881 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kolen Station di teluk Sabang. Tahun 1883 Atjeh Associate didirikan oleh Factorij van de Nederlandsche Handel Maatschappij (Factory of Netherlands Trading Society) dan De Lange & Co. di Batavia atau Jakarta untuk mengoperasikan pelabuhan dan stasiun batubara di Sabang.
Tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas (vrij haven) untuk perdagangan umum dan sebagai pelabuhan transit barang-barang hasil pertanian Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau semenjak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh sendiri, sehingga Sabang mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.
Tahun 1899 Ernst Heldring mengenali potensi Sabang sebagai pelabuhan internasional dan mengusulkan pengembangan pelabuhan Sabang pada Nederlandsche Handel Maatschappij dan beberapa perusahaan Belanda lainnya melalui bukunya yang berjudul Oost Azie en Indie. Tahun 1899 Balthazar Heldring selaku direktur NHM merubah Atjeh Associate menjadi N.V. Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia (Sabang Seaport and Coal Station of Batavia) yang kemudian dikenal dengan Sabang Maatschappij dan merehab infrastruktur pelabuhan agar layak menjadi pelabuhan bertaraf internasional.
Tahun 1903 CJ Karel Van Aalst sebagai direktur NHM yang baru, mengatur layanan dwi-mingguan antara pelabuhan Sabang dan negeri Belanda, melibatkan Stoomvaart Maatschappij Nederland (Netherlands Steamboat Company) dan Rotterdamsche Lloyd. Selain itu, dia juga mengatur suntikan modal penting bagi Sabang Maatschappij dengan NHM sebagai pemegang saham mayoritas.
Tahun 1942 pada Perang Dunia II, Sabang diduduki Jepang dan dijadikan basis pertahanan wilayah barat. Sabang sebagai pelabuhan bebas ditutup.
Tahun 1945 Sabang mendapat dua kali serangan dari pasukan Sekutu dan menghancurkan sebagian infrastruktur. Kemudian Indonesia Merdeka tetapi Sabang masih menjadi wilayah koloni Belanda.
Tahun 1950 Setelah KMB, Belanda mengembalikan Sabang kepada Indonesia. Upacara penyerahannya berlangsung di gedung Controleur (gedung Dharma Wanita Kota Sabang sekarang). Kemudian melalui keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Nomor 9/MP/50, Sabang menjadi Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia. Sabang Maatschappij dilikuidasi. Prosesnya selesai tahun 1959. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschappij dibeli oleh Pemerintah Indonesia.
Kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1963, Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas (Free Port), dan pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).
Tahun 1985 Status Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditutup oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1985, dengan alasan maraknya penyeludupan dan akan dibukanya Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Tahun 1993 Posisi Sabang mulai diperhitungkan kembali dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
Tahun 2000, Presiden Gusdur mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan tanggal 22 Januari 2000 diterbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2000 tentang pelabuhan bebas Sabang.
Pada tanggal 14 Juni 1965, Presiden Republik Indonesia Soekarno menandatangani Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapraja Sabang. Pada tanggal 24 Juni 1965, Sabang sebagai salah satu daerah yang sekarang dikenal dengan Kota Madya diresmikan.
Sejak saat itu, Sabang berpisah dari kabupaten induknya yaitu Aceh Besar. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965 tersebut dijelaskan bahwa yang menjadi kawasan Sabang adalah Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulake dan Pulau Rondo.
Ada satu versi sejarah yang mengatakan nama Sabang berasal bahasa Arab, Shabag, yang artinya gunung meletus. Nama tersebut diberikan oleh para pedagang Arab yang datang ke pulau Weh. Sabang memiliki satu gunung berapi yang bernama Sarong Kreih.
Dalam website resmi Pemerintah Kota Sabang disebutkan, jauh sebelum kedatangan pedagang Arab, seorang ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan tiba di sebuah pulau di ujung Sumatera yaitu pulau Weh, dia menyebut pulau tersebut dengan pulau Emas.
Seorang pelaut ulung, Sinbad, juga pernah berlayar dari Sohar, Oman menyusuri pantai di tepi Samudera Hindia melalui rute Maldives, pulau Kalkit India, Srilangka, Andaman, Nias, pulau Weh, Penang hingga ke Canton, Cina. Ketika di pulau Weh, dia menyebut pulau tersebut dengan pulau Emas. Tak ada catatan sejarah yang menyebutkan kenapa pulau tersebut dinamakan pulau Emas.
Jalur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur melalui Selat Sunda dan langsung ke Cina atau Indonesia Timur. Tetapi ketika Terusan Suez dibuka oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1869, jarak dari Eropa menuju ke timur semakin pendek melalui Selat Malaka dan Sabang menjadi ramai.
Dari dulu hingga sekarang, Sabang dikenal dengan pelabuhan karena posisinya yang strategis. Sejak masa kolonial Belanda, pemerintahan Indonesia di bawah Sukarno, Orde baru, hingga setelah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia, status pelabuhan di Sabang naik turun.
Sejak 1881 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kolen Station di teluk Sabang. Tahun 1883 Atjeh Associate didirikan oleh Factorij van de Nederlandsche Handel Maatschappij (Factory of Netherlands Trading Society) dan De Lange & Co. di Batavia atau Jakarta untuk mengoperasikan pelabuhan dan stasiun batubara di Sabang.
Tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas (vrij haven) untuk perdagangan umum dan sebagai pelabuhan transit barang-barang hasil pertanian Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau semenjak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh sendiri, sehingga Sabang mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.
Tahun 1899 Ernst Heldring mengenali potensi Sabang sebagai pelabuhan internasional dan mengusulkan pengembangan pelabuhan Sabang pada Nederlandsche Handel Maatschappij dan beberapa perusahaan Belanda lainnya melalui bukunya yang berjudul Oost Azie en Indie. Tahun 1899 Balthazar Heldring selaku direktur NHM merubah Atjeh Associate menjadi N.V. Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia (Sabang Seaport and Coal Station of Batavia) yang kemudian dikenal dengan Sabang Maatschappij dan merehab infrastruktur pelabuhan agar layak menjadi pelabuhan bertaraf internasional.
Tahun 1903 CJ Karel Van Aalst sebagai direktur NHM yang baru, mengatur layanan dwi-mingguan antara pelabuhan Sabang dan negeri Belanda, melibatkan Stoomvaart Maatschappij Nederland (Netherlands Steamboat Company) dan Rotterdamsche Lloyd. Selain itu, dia juga mengatur suntikan modal penting bagi Sabang Maatschappij dengan NHM sebagai pemegang saham mayoritas.
Tahun 1942 pada Perang Dunia II, Sabang diduduki Jepang dan dijadikan basis pertahanan wilayah barat. Sabang sebagai pelabuhan bebas ditutup.
Tahun 1945 Sabang mendapat dua kali serangan dari pasukan Sekutu dan menghancurkan sebagian infrastruktur. Kemudian Indonesia Merdeka tetapi Sabang masih menjadi wilayah koloni Belanda.
Tahun 1950 Setelah KMB, Belanda mengembalikan Sabang kepada Indonesia. Upacara penyerahannya berlangsung di gedung Controleur (gedung Dharma Wanita Kota Sabang sekarang). Kemudian melalui keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Nomor 9/MP/50, Sabang menjadi Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia. Sabang Maatschappij dilikuidasi. Prosesnya selesai tahun 1959. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschappij dibeli oleh Pemerintah Indonesia.
Kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1963, Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas (Free Port), dan pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).
Tahun 1985 Status Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditutup oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1985, dengan alasan maraknya penyeludupan dan akan dibukanya Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Tahun 1993 Posisi Sabang mulai diperhitungkan kembali dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
Tahun 2000, Presiden Gusdur mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan tanggal 22 Januari 2000 diterbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2000 tentang pelabuhan bebas Sabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar