Rabu, 31 Desember 2014

Masjid Dhirar, Masjid Kaum Munafik Yang Dihancurkan Di Zaman Nabi

desert1_OPT
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (At-Taubah9:107)
Sebab turun ayat (asbabun nuzul) ini adalah pemberitahuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa orang munafik membangun masjid dengan niat menghancurkan Islam
Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishaq rahimahullah yang berkata, “Ibnu Syihab az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akimah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu (dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah) berkata,
“Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan shalat di masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut yang mereka niatkan untuk membahayakan kaum muslimin dan sebagai bentuk kekafiran.” Lubabun Nuqul fi asbabin nuzul hal. 111, Darul Maktabah Ilmiyyah, syamilah
Kaum munafik membangun dengan niat yang jelek
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Masjid Dhirar dibangun dengan niat yang jelek.. mereka adalah orang munafik tujuan mereka:
1. Menyaingi dan membahayakan masjid Quba, oleh karena itu dinamakan Masjid dhirar (artinya: membahayakan, dan masjid ini dibangun hampir bersamaan dengan masjid yang pertama kali yaitu masjid Quba, pent).
2. Kafir kepada Allah, karena ditetapkan padanya kekafiran/pengingkaran karena yang membangunnya adalah orang munafik
3. Memecah belah kaum muslimin
4. Untuk memata-matai (kaum muslimin) bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Ada seorang laki-laki fasik pergi ke Syam yang bernama Abu ‘Amir (ia selalu memerangi kaum muslimin dan kalah, kemudian ke syam untuk meminta bantuan kepada Raja Romawi, pent). Kemudian ia bersurat kedapa kaum munafik (di Madinah) agar mereka membangun Masjid, maka kaum munafik membangun masjid (Dhirar) atas petunjuk darinya. Mereka berkumpul untuk mewujudkan keinginan mereka untuk membuat makar dan tipu daya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau (mereka beralasan membangun masjid untuk orang yang sakit dan orang tua, pent).” Majmu’ Fatawa wa Rasail 6/226-227
Perintah agar tidak shalat di masjid tersebut dan agar menghancurkannya
Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Malik bin Dukhsyum, Ma’an bin Adi, ‘Amir bin As-Sakan dan Wahsyi. Kemudian berkata, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirar), kemudian hancurkan dan bakarlah.”
Maka keduanya pun berangkat dengan segera. Malik bin Dukhsyum mengambil api (pelepah kurma) dari rumahnya. Mereka bertolak lalu membakar dan menghancurkannya. [muslimafiyah]

NASA Curiosity Temukan Dasar Sungai Kuno di Mars

detail berita
(Foto: Softpedia)
NASA Curiosity, robot berpenggerak roda yang dilengkapi laboratorium internal telah berada di Mars sejak Agustus tahun lalu. Robot penjelajah planet merah ini kabarnya telah menemukan dasar sungai kuno di permukaan Mars.

Dilansir Softpedia, Jumat (31/5/2013), NASA mengumumkan bahwa Curiosity telah menemukan bukti dasar sungai kuno di permukaan planet merah. Gambar yang ditangkap robot mutakhir ini memungkinkan bagi ilmuwan untuk menganalisis formasi batu.

Selain menganalisis formasi batu, mereka juga akan menentukan bahwa temuan Curiosity ini merupakan bagian dari dasar sungai yang pernah ada di Mars. Peneliti mengidentifikasi beberapa situs di Mars, di mana Curiosity telah mengabadikan gambar situs tersebut selama misi 40 hari pertama.

Ilmuwan mengatakan, satu dari tiga batu yang menyerupai aspal, yang disebut 'Goulburn' sesungguhnya merupakan lokasi pendaratan Curiosity berikutnya. Sementara dua batu lainnya, 'Link' dan 'Hottah' berjarak sekira 50 dan 100 meter dari lokasi pendaratan Curiosity.

Rebecca Williams dari Planetary Science Institute mengungkapkan, dasar sungai kuno di Mars persis seperti yang ada di Bumi. "Kebanyakan orang akrab dengan kerikil sungai yang membulat (di Bumi)," ungkap Rebecca.

Ia menjelaskan, ada banyak tanda-tanda bahwa batu serta kerikil yang ada di Mars ini merupakan dasar sungai kuno. Peneliti melihat hingga 515 batu dan kerikil. Kerikil yang besar dikelompokkan, yang menunjukkan pergerakkan dan kemudian diikuti oleh sebagian pasir seperti di Bumi.

Dengan penataan kerikil dan melihat ukuran batu kecil tersebut, para ilmuwan menentukan kecepatan bekas aliran sungai kuno ini sekira satu meter per detik. Ilmuwan juga mengestimasi kedalaman sungai kuno ini dahulu mencapai setinggi mata kaki atau pinggul manusia dewasa. (fmh)

Misteri Ruang dan Waktu



Oleh: Nur sidqon*
* Praktisi Ilmu Falak di Farabi Institute
Judul Buku  : A Brief History Of Time – SejarahSingkatWaktu
Penulis  : Stephen hawking
Penerbit : PT. Gramediapustakautama
TahunTerbit : Cetakan I, 2013
TebalBuku : 203 halaman
ISBN   : 978-979-22-9212-1
Harga Buku : Rp. 55.000,-

Alam semesta merupakan ruang raksasa yang sangat luas. Tersimpan banyak misteri di dalamnya, mulai dari waktu penciptaan hingga kapan alam semesta akan punah. Tentunya untuk mencari jawaban dari misteri-misteri tersebut butuh rasionalitas tinggi di sertai observasi yang didukung dengan teknologi canggih.
Lewat bukunya yang berjudul “A brief history of time: Sejarah Singkat Waktu”, Stephen Hawking memberi informasi penting mengenai bagaimana alam semesta bermula-–dan apa yang memulainya?  Adakah ujung alam semesta, dalam ruang maupun waktu? Adakah dimensi lain dalam alam semesta? Apa yang terjadi ketika alam semesta berakhir? Semua di bahas dalam buku setebal 203 halaman tersebut. Sehingga setelah membaca buku ini kegamangan mengenai konsepsi alam semesta yang meliputi ruang dan waktu mulai mendapati titik cerahnya.
Dalam bukunya itu hawking memasukkan kemajuan teoretis dan pengamatan. Ia jabarkan kemajuan yang di capai akhir-akhir ini dalam menerima “dualitas” atau korespondensi antara teori-teori fisika yang sepintas tampak berbeda. Juga hasil dari pengamatan pengukuran fluktuasi radiasi latar gelombang mikro kosmik oleh COBE (Satelit Cosmic Background Explorer) dan kolaborasi lainya.
Pada umumnya para ilmuan dalam menjabarkan alam semesta biasanya berdasarkan dua teori dasar yang menjelaskan sebagian –teori relativitas umum dan mekanika kuantum. Tapi sayangnya ke dua teori ini tidak konsisten satu sama lain –tak mungkin benar kedua-duanya. Oleh karena itu, buku ini hadir dengan tujuan mencari teori baru yang akan mencakup keduanya sebagai satu teori pamungkas yang menjabarkan seluruh alam semesta.(hal. 12)
Dengan hadirnya buku “A brief history of time : sejarah singkat waktu”  membawa pemahaman baru akan konsepsi ruang dan waktu sekaligus merupakan revolusi intelektual terbesar pada abad keduapuluh. Hawking mengubah gagasan lama alam semesta yang tak berubah, dan bisa telah dan terus ada selama-lamanya, di gantikan gagasan alam semesta yang dinamis dan mengembang yang bermula pada waktu tertentu yang sudah lampau dan berakhir pada waktu tertentu kelak (hal.35). Dalam hal ini   Hawking mengakui adanya keterlibatan campur tangan Tuhan dalam proses penciptaan alam semesta.
Sama halnya dengan konsep waktu, selama ini yang kita tahu adalah waktu selalu bergerak maju. Maka dalam kehidupan nyata tidak pernah kita jumpai pecahan-pecahan gelas mendadak mengumpul dari lantai dan melompat kembali ke atas meja kemudian membentuk gelas yang utuh. Namun ruang waktu lain yang di perkenankan teori relativitas umum, dan memungkinkan perjalanan ke masa lalu sudah di temukan. Salah satunya adalah bagian dalam lubang hitam atau biasa di sebut lubang cacing (wormholes) yang berotasi (hal. 151).
Lubang hitam atau lubang cacing bak ‘jembatan waktu’ yang bisa mengantarkan seseorang ke masa lalu ataupun ke masa depan. Maka kita bisa membayangkan seseorang yang hari ini rumahnya kebakaran kembali ke masa lalunya guna mematikan batang rokok yang ada di kamarnya sehingga tidak akan pernah terjadi kebakaran.
Sepintas, semua yang dijelaskan dalam buku ini nampak seperti omong kosong belaka yang keluar dari khayalan seorang Stephen Hawking atau lebih mirip film-film fiksi sains yang menceritakan tentang manusia yang bisa kembali ke masa lalu dengan menggunakan mesin waktu. Akan tetapi sebagaimana yang telah kita ketahui banyak gagasan-gagasan fiksi sains masa lalu seperti kapal selam dan perjalanan ke Bulan, telah menjadi fakta sains di masa sekarang, di samping itu pembahasan ini memang sudah menjadi spesialisasi dari seorang Stephen hawking, yang merupakan Lucasian Profesor of Mthematics di University of Cmbridge. Di tambah dengan data-data hasil pengamatan terbaru menggunakan technologi yang canggih sehingga membuat orang tidak akan lagi menanyakan tentang kebenaran dari gagasan-gagasan tersebut.
Di dalam bukunya Stephen hawking tidak hanya menjelaskan gagasanya mengenai konsep alam semesta yang meliputi ruang dan waktu, gagasan dari tokoh-tokoh lain pun turut ia masukkan. Nama-nama seperti Aristoteles, Ptolomeus, Albert Einstein, Galileo Galilei, Isac Newton, Edwin Hubble, Immanuel kant serta Filsuf-filsuf dan Tokoh-tokoh astronomi lainya akan sering kita jumpai di setiap lembaran-lembaran buku ini. Baik sebagai pembanding gagasan mana yang lebih benar ataupun sekedar untuk menguatkan pendapat.
Membaca buku “A brief history of time: Sejarah Singkat Waktu” membuat kita membayangkan seakan sedang duduk dalam sebuah ruang, mendengarkan apa yang di diskusikan Hawking hingga akhirnya kepala kita mengangguk-ngangguk takjub di buatnya atas apa yang ia jelaskan kepada kita.  Begitu mendalam sainsya, konsep-konsepnya sangat besar di barengi dengan bahasa penyampaian yang enak di baca, sehingga karena keahliannya dalam mengolah kata membuat sesuatu yang sukar menjadi mudah di baca sekaligus mudah di pahami.

Editor :
Jodhi Yudono

Menelusuri Historiografi Sejarah Sumatra

Historiografi kolonial memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-tempat yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia sebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Dalam penulisannya sering tidak ditulis lengkap karena unsur kepentingan lain yang menimbulkan adanya perbedaan atau penyimpangan dalam penulisan.
Ø Dari segi penulisan , penulis memandang dari satu sudut si penulis yang tidak lain merupakan dari bangsa lain, tetapi tidak lepas dari pemikiran yang luas atau universal.
Ø Contohnya saja pada pengklasifikasian Masyarakat dan karakteristik penduduk di Pulau Sumatra pada halaman 239, perbandingan ini sangat tidak mudah bagi Marsdem sendiri, kerena walaupun berada di bawah sistem masyarakat Eropa yang tertata rapi, Disini Marsden menaruh penduduk Sumatra sebagai tingkatan ke 3 yaitu penduduk yang tingkatanya lebih beradab. Bangsa Eropa yang paling erat hubungan dengan orang Sumatra adalah Inggris yang telah bermukim di pulau mereka.
Ø Urutan secara kronologis, maksud terperinci yaitu dari satu hal ke hal lain. Di buku Sejarah Sumatra ini menuliskan kejadian secara kronologis dari gambaran umum pulau Sumatra sampai catatan singkat tentang pulau-pulau di lepas Pantai Pesisir Barat Sumatra.
Ø Sudut pandang yang memusat pada indonesiasentris, tetapi pada kenyataan nya di buku ‘Sejarah Sumatra’ sendiri lebih condong ke eropasentris.
Ø Ciri dari Historiografi ini juga tidak terlepas dari bangsa Asing yang tujuannya adalah menyediakan fakta dan data untuk seorang peneliti mengenai sejarah guna menghindari kesalahpahaman penjelajah serta mengeksplorasi berbagai sudut dunia yang belum diketahui seperti di halam pertama buku Sejarah Sumatra.
Ø Historiografi kolonial sangat membantu dalam penulisan sejarah dan tidak terlepas dari fakta-fakta dan kejadian. Marsden berusaha membuktikan serangkaian fakta otentik yang beraturan dan menjelaskan segala sesuatu kenyataan, dari pada menunjukan kreativitas dalam berimajinasi.
Ø Sebagai contoh di halaman 421 tentang Kerajaan Indrapura, disini kerajaan tersebut pecah karena pecahnya Imperium Menangkabau karena dianggap kerajaan Indrapura kerajaan yang kurang penting. Disini Marsden melihat dari catatan sejarah yang diberikan oleh Sultan Bantam kepada Corneille le Brun.
Ø Bentuk dari historiografi kolonial berbentuk laporan: Dimana dalam ‘Sejarah Sumatra’ setelah saya baca berbentuk data-data yang penulisanya subyektif , data yang diambil oleh Marsdem tidak seluruhnya oleh pengamatannya sendiri, tetapi dibantu rekan-rekannya yang berada di Sumatera dan orang-orang Eropa yang sedikit mengerti tentang kawasan Sumatera.
Ø Didalam buku ini bahasa yang digunakan universal, dapat diartikan dapat dibaca oleh siapa saja

Angelo W

Fase Akhir Majapahit (3)

Suriname
Suriname merupakan bekas jajahan Belanda di Amerika Selatan. Pada sekitar tahun1890, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengiriman tenaga kerja dari Indonesia (Hindia Belanda) ke Suriname untuk menggantikan tenaga budak dari Afrika. Tenaga kerja tersebut menggunakan sistem kontrak, yang bekerja pada kebun tebu, kakao, dan tambang bauksit. Setelah kontrak selesai, tenaga kerja tersebut ada yang pulang ke Jawa, dan adapula yang menetap di Suriname.
Pada tahun 1950, Suriname mengadakan pemilihan umum. Sesudah legislatif terbentuk, maka Suriname menjadi daerah otonomi negara Belanda, maka otomatis penduduk asal Jawa menjadi warganegara Belanda. Pada tahun 2004 diadakan sensus penduduk, orang etnis Jawa di Suriname berkisar 71.879 dari 492.820 jiwa Suriname.
Biarpun masyarakat Jawa hidup di Suriname sudah beratus tahun dan beranak turun, tetapi mereka tetap berusaha melestarikan budaya Jawa. Terdapat grup jathilan, ludruk, kethoprak, wayang kulit di Suriname. Maka tidak mengherankan bila penduduk Suriname tidaklah asing dengan penyanyi campur sari semodel Didi Kempot, Cak Dikin dan sebagainya.
Kerajaan
Buku ini mengkaji konsep kerajaan-kerajaan di Indonesia berkaitan dengan mutasi budaya yang telah terjadi dari budaya lokal yang sangat kuat yang telah mengalami dua periode mutasi akibat pengaruh budaya Asia.
Mutasi pertama adalah proses “indianisasi” pada periode penyebaran agama Hindu & Budha yang mencapai puncaknya pada masa kejayaan Majapahit. Bisa dikatakan mutasi pertama ini telah berhasil menyatukan budaya lokal dengan pengaruh “indianisasi” menjadi suatu yang menghasilkan banyak karya budaya yang megah dan kerajaan-kerajaan yang besar (Singasari, Sriwijaya dan Majapahit) Peninggalan candi-candi megah di Jawa Tengah (Borobudur dan Prambanan).
Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara total budaya India tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu & Budha berpendapat bahwa memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang bukan Budha bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.
Contoh yang paling pas bahwa budaya India tidak sepenuhnya dijalankan di Jawa adalah budaya wayang purwo. Walaupun cerita dan tokoh utamanya adalah dari kisah Ramayana & Mahabarata dalam realitas ceritanya tidak pas 100% dengan cerita yang ada di Ramayana dan Mahabarata. Banyak kandungan lokal yang sudah masuk dalam cerita wayang, termasuk adanya unsur panakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong).
Mutasi kedua yaitu proses pengislaman yang tidak tuntas, karena walaupun orang Jawa/Indonesia berhasil di Islamkan, dalam kenyataanya tidak ada kerajaan Islam di Indonesia yang bisa menggantikan kedudukan Majapahit dalam pencapain menjadi kerajaan besar. Proses pengislaman telah menyurutkan kejayaan Majapahit menjadi banyak kesultanan-kesulatan kecil dengan otonomi dan wilayah yang terbatas. Paling besar adalah kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung, itupun cepat menyurut seiring dengan bekembangnya kolonialisme Belanda. Bahkan pada saat Indonesia merdeka, tokoh-tokoh Islam di Indonesia tidak berhasil menjadikan Islam sebagai dasar negara. Secara aklamasi menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
Warisan kerajaan-kerajaan konsentris: konsep kerajaan-kerajaan di Jawa/Indonesia adalah konsep raja sebagai poros kekuasaan yang dikelilingi oleh para assistennya termasuk para penguasa didaerah. Untuk memperkuat kedudukannya di daerah, cara yang dipakai adalah sistem keluarga, dimana penguasa-penguasa di daerah adalah kalangan keluarga dekat raja atau dilakukan pernikahan dengan keluarga dekat raja sehingga raja tidak dikhawatirkan dengan sikap pembangkangan yang mungkin timbul. Kadang-kadang juga dengan menyandera salah satu keluarga penguasa daerah untuk tetap tinggal di lingkungan istana, tentunya kalau ingin tetap selamat, penguasa daerah harus tetap loyal kepada raja.
Raja sebagi pusat poros kekuasaan, dianggap sebagai perwujudan dewa pada masa pengaruh agama Hindu, contohnya Airlangga dan Ken Arok diangap sebagai perwujudan Wisnu. Pada masa penyebaran agama Islam, ada mitos bahwa raja adalah sebagai wakil Tuhan di dunia, oleh karena itu untuk menjadi raja harus mendapat “wahyu kraton” yang berupa cahaya cemerlang yang masuk dalam tubuh raja tersebut (kepercayaan ini bukanlah asli dari agama Islam, tapi lebih pada kepercayaan lokal, bahkan mungkin dari pengaruh Hindu).
Pusat poros kekuasaan ini terefleksi dengan nama raja-raja di Jawa – Paku Buwono yang berarti paku dunia, Paku Alam yang berarti paku semesta alam, Hamengku Buwono yang berarti memangku dunia. Juga gelar yang disandang: Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah yang berarti raja adalah panglima tertinggi, pengatur agama juga pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan. Ini juga pengaruh warisan lama dari pewayangan bahwa raja yang baik adalah “ratu pinandito” raja yang sekaligus juga bersifat pendeta, suatu usaha agar tidak terjadi dualisme kekuasaan antara kekuasan raja dan kekuasaan pendeta/ulama.
Poros kekuasaan raja sebagai kekuasan absolut menimbulkan suatu ruang kebebasan dalam masyarakat Indonesia. Ini disebabkan makin jauh dari ibukota dimana kerajaan itu berada, kekuatan kekuasan raja makin menipis. Ruang pedesaan dan hutan terdapat suatu ruang kebebasan dimana orang-orang yang tidak sehaluan dengan raja, mengembangkan budaya kebebasan mereka sendiri yang umum disebut sebagai budaya pinggiran. Bukti adanya suatu budaya mandiri yang lepas dari kekuasan adalah adanya kisah perjalanan seperti Serat Centini di Jawa Tengah dan Bujangga Manik di Jawa Barat. Kisah perjalanan ini banyak menceritakan tentang kantong-kantong daerah di seluruh Jawa yang terlepas dari pengaruh kerajaan, kisah-kisah kebijakan para pertapa dan kyai-kyai yang mengembangkan otoritas mereka sendiri-sendiri dalam wilayah terbatas lepas dari kekuasaan raja.
Danys Lombart mengakhiri ulasannya pada masa pemerintahan Pak Harto yang melihat bahwa pola pemerintahan Pak Harto adalah merupakan warisan budaya kerajaan konsentris, dimana kekuasaan pemerintahan cenderung absolut dan dalam mengembangkan kekuasaan pemerintah pusat menggunakan tipikal persaudaraan walaupun dalam realisasi bukan keluarga dalam arti sebenarnya tapi dalam lingkup persaudaraan jaringan militer Angkatan Darat.
Sedangkan kantong-kantong kebebasan di daerah pinggiran, dengan makin menciutnya daerah lahan hutan, beralih masuk kota yang merupakan kebebasan daerah kumuh di perkotaan-perkotaan yang juga tidak tersentuh kekuasaan formal negara: banyak orang tidak punya ktp, kumpul kebo, punya penguasa tersendri dalam kelompoknya, tidak mengikuti apapun aturan dan arahan dari struktur kenegaraan.
Sedangkan paska reformasi 1998, kalau mengacu pada pola pikir Danys Lombart bisa disimpulkan: adalah kelanjutan dari pertarungan golongan-golongan yang pro pembaratan dan yang anti pembaratan. Realitasnya golongan pro-pembaratan telah memenangkan pertarungan dimana semua konsep kenegaraan dan ekonomi meniru konsep-konsep yang berasal dari Barat.
Tamat.
*) Tulisan ini terinspirasi dari diskusi, membaca, dan mengkaji sekira tahun 2010 an.

banyu W

Fase Akhir Majapahit (2)

Buku ini mengkaji jaringan perdagangan Asia yang berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan Indonesia sejak awal bukti-bukti sejarah tertulis dikenal s/d abad ke-20.
1. Bandar-bandar persinggahan kuno:
# Sumber-sumber tulisan kuno di Cina mengatakan bahwa hubungan perniagaan di pulau Jawa dengan dunia luar sudah ada sejak jaman sebelum Masehi. Jawa disebut dengan berbagai nama: Ye-po-ti, Yawadwipa, Shepo, dll. Perniagaan terjalin dengan berbagai kerajaan di Asia.
# Puncak kejayaan Jawa sebagai pusat perniagaan terjadi pada abad ke-13 s/d 15 (masa kejayaan Majapahit). Jawa menarik keuntungan besar dalam perniagaan dengan kerajaan di Asia lainnya dengan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Indonesia Timur. Ditegaskan dalam transkripsi:
i. Naskah Marcopolo yang pada tahun 1271 berkunjung ke Sumatera, walaupun tidak singgah ke Jawa, menulis: Pulau itu kaya sekali. Ada semua rempah-rempah yang langka di dunia. Pulau itu didatangi sejumlah kapal besar dan pedagang yang membuat laba tinggi disana. Di pulau itu terdapat harta kekayaan sedemikian banyaknya hingga tak ada seorangpun didunia ini yang bisa menghitungnya dan menceritakannya.
ii. Naskah Negarakertagama menceritakan ada 98 nama tempat yang dikatakan tergantung pada Majapahit dalam perniagaan dan wajib membayar pajak yang kalau ditempatkan di peta meliputi keseluruhan wilayah Indonesia sekarang. Didalamnya ada 16 nama yang terletak di Semenanjung Melayu: Pahang, Langkasuka (Langkawi), Kelantan, Trengganu, Tumasik (Singapura), Kelang, Kedah.
# Kemajuan pesat Kesultanan-Kesultanan (abad ke-16 s/d 18): Dengan menyurutnya kekuasaan Majapahit dan penyebaran agama Islam mulai sekitar abad ke 15, peranan kegiatan perniagaan digantikan oleh Kesultanan yang tumbuh di Jawa: Giri, Demak/Pajang, Cirebon/Banten. Kesultanan menguasai perdagangan dengan dunia luar termasuk dengan pedagang-pedagang dari Eropa.
# Gerak surut di Bidang Politik dan Persaingan di Bidang Ekonomi (abad ke 19 s/d 20): Terpecahnya kesultanan-kesultanan di Jawa dalam masalah suksesi memberi kesempatan bagi Belanda campur tangan dan mengambil alih fungsi perdagangan di Jawa/Indonesia ke dunia luar. Kerajaan Jawa (Mataram) menyuruk kepedalaman dan lebih menggantungkan diri pada sektor pertanian, suatu perubahan drastis sekaligus kemunduran Jawa/Indonesia di bidang politik dan persaingan ekonomi. Note: Hal ini terjadi sampai saat ini dimana perdagangan di Indonesa masih sangat tergantung pada orang-orang asing dan sangat tertatih-tatih untuk bangkit kembali dalam kemandirian.
2. Pengaruh Islam: Menurut Danys Lombart dari penduduk Indonesia pada tahun 1988 yang 175 juta, kurang lebih 90% beragama Islam, atau sekitar 157 juta. Paling tidak separo dari 157 juta orang yang disebut statistik beragama Islam terdiri dari “orang Jawa” yang kebanyakan masih menganut pandangan hidup dan pola kerohanian yang jauh dari prinsip-prinsip Islam. Bagaimanapun juga, mustahil melihat kaum Muslim Indonesia sebagai suatu kebulatan. Ulama-ulama yang paling aktifpun menyadari keanekaan kaum Muslim di Indonesia yang ada adalah “berbagai corak Islam di Indonesia”. Penyebaran Islam di Indonesia sendiri bermula dari para pedagang yang mengarungi lautan sampai ke Madagaskar dan keseluruh Asia Timur dan Selatan. Oleh karena itu pengaruh Islam sangat menonjol didaerah pelabuhan di pesisir utara Jawa. Baru pada mulai abad ke 16, Islam menyebar melalui jaringan agraris dengan munculnya pesantren-pesantren di pedalaman pulau Jawa. Ini sejalan juga dengan peralihan pola hidup bangsa Jawa/Indonesia dari pola kehidupan perdagangan menjadi pola kehidupan agraris.
3. Pengaruh Cina: Lebih mudah melihat pengaruh Islam dalam masyarakat Jawa/Indonesia dibandingkan dengan pengaruh Cina. Walaupun ada penyerapan budaya Cina dalam masyarakat Jawa/Indonesia. Tapi agak berbeda dengan penyerapan pengaruh budaya Cina di daerah Asia Tenggara daratan seperti: Thailand, Burma, Vietnam, Kamboja, dan Laos yang relatif lebih terasa. Ini disebabkan karena para pendatang Cina ke Indonesia pada awalnya abad ke-15 justru mereka yang menyerap budaya lokal dengan menjadi petani dan beralih ke agama Islam. Sehingga pendatang Cina tidak dianggap sebagai ancaman pada masyarakat lokal dan membaur begitu saja dalam masyarakat Jawa/Indonesia. Bahkan ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa beberapa dari “Wali Sanga” berkebangsaan Cina. Peralihan peranan pendatang Cina terjadi mulai abad ke 18 ketika Belanda mendatangkan banyak tenaga dari Cina untuk pembukaan perkebunan dan pertambangan. Setelah perkebunan menghasilkan, Belanda memberikan peranan pengumpul hasil perkebunan atau peranan distribusi pada sistem perdagangan. Ada tiga hal yang menyebabkan perubahan sikap pendatang Cina yang datang belakangan (sejak abad 18) dibandingkan dengan para pendatang Cina yang datang lebih dahulu:
# Kedatangan besar-besaran pada abad 18 dan 19 menimbulkan suatu kelompok besar komunitas Cina (sekitar 500.000 pada akhir abad ke-19) sehingga mereka berkeinginan punya identitas sendiri.
# Pendatang Cina membawa serta keluarga mereka sehingga tidak terjadi asimilasi natural dengan warga lokal.
# Perkembangan kebangkitan nasionalisme Cina pada akhir abad ke-18 yang berimbas membangkitkan kembali kebanggaan sebagai bagian dari kelompok etnis Cina.
Walaupun tidak sebesar pengaruh budaya India, budaya Islam, pengaruh budaya Barat. Ada juga pengaruh budaya Cina pada masyarakat Jawa/Indonesia yang terlihat pada busana, tarian, pertanian, adaptasi kata-kata bahasa Cina kedalam bahasa Jawa/Indonesia (arak, anglo, bakiak, petai, soto, dll). Cina di Indonesia, yang dahulu Muslim, mereka sedikit demi sedikit di-Cina-kan kembali. Karena disaingi oleh kaum borjuis (bangsawan) pribumi dan ditinggalkan oleh Belanda menjadi etnis minoritas disatu negeri dengan mayoritas Islam.
Struktur jaringan-jaringan perdagangan Asia yang rumit telah membentuk kebudayaan Indonesia. Lebih sekedar pengaruh Barat tapi juga pengaruh: resistensi budaya lokal, budaya India, budaya Islam, dan budaya Cina.
*) Tulisan ini terinspirasi dari diskusi, membaca, mengkaji sekira tahun 2010-an.

Banyu W

Fase Akhir Majapahit

Buku Nusa Jawa Silang Budaya adalah terjemahan hasil karya Denys Lombart – seorang orientalist asal Prancis – dengan judul asli Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang terbit pada tahun 1990 dan terjemahannya berjudul Nusa Jawa Silang Budaya. Buku terjemahan ini terdiri dari 3 jilid yang dilakukan oleh tim Pusat Dokumentasi dan Penelitian EFEO, Jakarta. Ringkasan ini mendasarkan diri pada buku terjemahan tersebut yang diterbitkan P.T. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1996.
Ringkasan isi Nusa Jawa Silang Budaya (1) – Batas-Batas Pembaratan: Isi buku ini mencoba mengkaji seberapa besar pengaruh pemikiran Barat terhadap masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa yang punya pengaruh kuat dalam pembentukan budaya Indonesia.
Beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Danys Lombart adalah:
1. Kedatangan Belanda pada tahun 1596 yang kemudian jengkal demi jengkal meluaskan pengaruh penjajahannya dan akhirnya berhasil membentuk tanah koloni bernama Hindia Belanda tidak secara otomatis merubah cara berpikir penduduk lokal terpengaruh dengan cara berpikir Barat. Hal ini disebabkan penduduk Belanda yang berada di koloni Hindia Belanda sangat kecil jumlahnya untuk mampu mempengaruhi budaya lokal. Apalagi Belanda dalam menjalankan tata pemerintahan kolonial menggunakan tangan para bangsawan lokal jadi tidak secara langsung berhadapan dengan masyarakat lokal secara luas.
2. Pengaruh pemikiran Barat baru mulai pada abad ke 19 melalui:
# Komunitas-Komunitas Kristen yang melakukan penyebaran agama Kristen di kalangan bangsawan dan rakyat jelata yang memasukkan unsur-unsur budaya Barat didalamnya.
# Melalui para bangsawan lokal yang diizinkan oleh Belanda mendapat pendidikan Barat untuk keperluan administrasi birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Belanda karena cikal bakal pergerakan kemerdekaan berasal dari kalangan ini.
# Tentara dan Akademisi – hal ini dimulai pada awal perang kemerdekaan dimana doktrin militer mulai berorientasi meniru model doktrin militer Barat dalam melakukan perlawanan terhadap Jepang maupun Belanda dan diteruskan pada paska 1950 dimana banyak kalangan militer dan akademisi dikirim untuk belajar di negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat).
# Terbentuknya Kelas Menengah. Sejalan dengan kemajuan ekonomi dan pendidikan yang mengacu dengan sistem Barat. Pemikiran Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia paska pemerintahan Presiden Sukarno dengan segala embel-embel peniruan budaya Barat dengan mulai terbentuknya kelas menengah di Indonesia.
Kemudian Danys Lombart membahas pengaruh pembaratan di Indonesia yang meluas dibidang-bidang: teknologi, ekonomi, demografi antara pedesaan dan perkotaan dimana budaya Barat lebih terasa di perkotaan tapi tidak begitu terasa di pedesaan yang masih tetap berorientasi pada budaya lokal, busana, tingkah laku, dan bahasa. Sebagai akibatnya terjadi erosi terhadap budaya daerah.
Pada akhir jilid 1, Nusa Jawa Silang Budaya, Danys Lombart mengkaji lebih jauh apakah pembaratan di Indonesia merupakan suatu peralihan budaya Indonesia yang sepenuhnya menuju masyarakat yang berorientasi ke budaya Barat atau justru ada suatu penolakan terhadap pengaruh budaya Barat dan mencoba menegaskan bahwa budaya lokal adalah budaya yang harus dipertahankan dan dilestarikan.
Ada dualisme terjadi dalam masyarakat Indonesia yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan Indonesia lebih lanjut tapi ada juga golongan-golongan yang menolak secara tegas pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia. Hal ini yang memunculkan nasionalisme Indonesia dengan kemunculan Budi Utomo pada tahun 1908 yang membangkitkan kebangkitan nasional dengan lebih menekankan kecintaan dengan sesuatu yang bersifat lokal yang mengilhami para pemuda Indonesia melahirkan sumpah pemuda: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.
Sangat menarik kutipan di buku ini ucapan dari DR. Rajiman (salah satu pendiri Budi Utomo), yaitu: “Jika pribumi dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat diantara dua peradaban”.
Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren yang pada zaman Belanda, tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “Wali Sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. (Note: Hanya belakangan ini pesantren-pesantren mengajarkan teknologi ataupun ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat. Apakah ini suatu indikasi pembaratan makin meluas pada pascapemerintahan Presiden Sukarno?).
Menarik juga bahwa pada akhir tulisan dikatakan bahwa Pancasila adalah suatu ideologi lokal yang berusaha untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat. Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai founding father selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.
Juga konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Suatu pemikiran yang jauh ke depan.
Berdasarkan kesimpulan adanya resistensi pengaruh Barat dan penggalian kembali nilai-nilai ketimuran, lebih jauh Danys Lombart akan menganalisis masyarakat Indonesia yang punya kecenderungan sinkretik dalam pengertian terbuka tehadap pengaruh budaya luar tapi tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam.
*) tulisan di atas terinspirasi dari membaca, diskusi, mengkaji sekira tahun 2010 an.

Banyu W

Fatimah Al-Fihri, Muslimah Pendiri Universitas Tertua

Universitas Al-Qarawiyyin (Jami'ah Al-Qarawiyyin), di Kota Fez, Maroko.
Universitas Al-Qarawiyyin (Jami'ah Al-Qarawiyyin), di Kota Fez, Maroko.

Masjid al-Qariwiyyin menjadi pusat penyebaran Islam di Maroko dan Eropa.

Kisah keteladannya akan tetap dikenang sepanjang masa. Cerita tentang kedermawanan, kesahajaan, dan komitmen melaksanakan ajaran-ajaran agama akan selalu diingat, persis seperti keyakinannya soal sedekah jariyah yang pahalanya mengalir meski hayat tak lagi di kandung badan.

Fatimah al-Fihri memutuskan mewakafkan sebagian besar harta warisannya yang ia terima dari almar hum ayahnya, Muhammad al- Fihri, untuk mendirikan Masjid al- Qarawiyyin. Sebuah masjid yang kelak menjadi cikal bakal universitas pertama di Maroko dan dunia Islam.

Perempuan itu lahir dari keluarga Fihri pada 800 M. Fatimah konon terkenal dengan jiwa pebisnis dan saudagar sukses. Semasa kecil, ia dan adik semata wayangnya, Maryam, hijrah dari kota kelahirannya Kairouan Tunisia ke Fes, Maroko, bersama keluarga besar.

Di kota ini, mereka sukses berdagang dan menjadi salah satu pebisnis ternama. Agama merupakan ruh utama di keluarga besar Fihri. Meski terkenal kaya, mereka tak antisosial. Seringkali menggelar kegiatan amal dengan melibatkan para dhuafa.

Fatimah memang tercatat tidak pernah belajar di luar rumah. Keluarga adalah madrasah utama yang men cetak karakternya selama ini. Sumbangsih monumentalnya terhadap dunia Islam, yakni pendirian Masjid al-Qarawiyyin (al-Karaouine). Kedua bersaudara, Fatimah dan Maryam, memiliki semangat, keinginan, dan misi yang sama.

Keduanya menginginkan agar harta warisan orangtuanya bisa bermanfaat dan pahalanya tetap mengalir. Fatimah berkarya melalui Masjid al-Qarawiyyin, sedangkan Maryam membangun Masjid al-Andalus. Kelak, kedua lokasi tersebut mempunyai posisi dan peran penting dalam penyebaran Islam di Maroko dan Eropa saat itu.

Pembangunan al-Qarawiyyin rampung pada awal Ramadhan 245 H atau bertepatan dengan 30 Juni 859 M. Fatimah yang bergelar Umm al- Baninin mengawasi langsung proses pembangunan masjid yang terkenal pula dengan sebutan Jami’ as-Syurafa’ sejak awal. Mulai dari pemilihan lokasi hingga soal arsitekturnya.

Terkait lokasi masjid, Fatimah me nyadari sepenuhnya arti kota Fes, Maroko. Letaknya yang sangat strategis memungkinkan para sarjana dan cendekiawan Muslim datang di masjid itu. Fes merupakan kota berpengaruh sepanjang abad dan berposisi sebagai pusat agama dan budaya.

Di tangan Fatimah, proses pembangunan masjid yang berdiri pada masa pemerintahan Dinasti Idrisiyah tersebut penuh dengan kisah-kisah spiritual. Konon, Fatimah berpuasa selama pembangunan berlangsung. Seluruh biayanya berasal dari kantong pribadinya.

Bahkan, ia tak ingin meng ambil material apa pun yang diambil dari orang lain. Pasir dan air sebagai material pokok diperoleh di lokasi tempat masjid berdiri tegak. Se perti yang dinukilkan, Fatimah me merintahkan para pekera agar menggali sedalam-dalamnya untuk mendapatkan pasir sehingga tidak mengambil hak orang lain.

Sejak itulah, al-Qarawiyyin mengundang ketertarikan para sarjana dan cendekiawan Muslim. Kajian ilmu sering berlangsung di sana. Penuntut ilmu pun berdatangan dari penjuru Maroko, negara-negara Arab, bahkan penjuru dunia. Dalam waktu yang singkat, Fes mampu bersanding sejajar dengan pusat ilmu pada masa itu, yaitu Cordova dan Baghdad.

Secara resmi pada masa al-Murabithi para ulama diberikan tugas formal untuk mengajar di al-Qarawiyyin. Data sejarah menyebut sistem pendidikan formal berlangsung di Masjid al- Qarawiyyin pada masa al-Murini. Ketika itu, dibangun banyak unit kelas lengkap dengan fasilitas pengajaran, seperti kursi dan beberapa lemari.

Universitas ini menghasilkan para pemikir ternama. Ada pakar matematika Abu al-Abbas az-Zawawi, pakar bahasa Arab dan seorang dokter Ibnu Bajah, serta pemuka dari Mazhab Maliki, Abu Madhab al-Fasi. Ibnu Khaldun, sosiolog tersohor itu konon juga pernah belajar di kampus ini. Al- Qarawiyyin juga merupakan pusat dialog antara kebudayaan Barat dan Timur.

Seorang filsuf Yahudi Maimonides (Ibn Maimun) belajar di al-Qarawiyyin di bawah asuhan Abd al-Arab Ibnu Muwashah. Demikian pula, al- Bitruji (Alpetragius). Dengan kata lain, Fatimah meninggalkan warisan berharga bagi generasi Muslim di seluruh dunia. Hingga kini, nama sosok yang wafat pada 266 H/ 880 M itu abadi, sekokoh masjid sekaligus universitas (al-Karaouine) yang ia bangun.
Nashih Nashrullah
Redaktur : Heri Ruslan

Pelajaran Berharga Isra Mi’raj

Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)
Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)
Peristiwa ini menunjukkan kebesaran kuasa Allah SWT.

Isra Mi’raj adalah tonggak sejarah bagi proses penyempurnaan risalah yang diterima Rasulullah SAW. Di balik hiruk pikuk perbedaan pendapat terkait kapan peristiwa ini terjadi, terdapat hikmah dan pelajaran berharga yang sayang untuk dilewatkan.

Rangkaian nilai dan pesan tersebut, sebut Syekh Dr Raghib as-Sirjani dalam makalahnya berjudul “al-Isra wa al-Mi’raj Durus wa Ibar”, dapat diposisikan sebagai motivasi untuk kembali memperteguh komitmen keagamaan seseorang.

Agar tak muncul keraguan maka poin mendasar yang mesti ditekankan ialah para ulama, sebagaimana dinukilkan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, sepakat atas kebenaran Isra Mi’raj. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha dan dari bumi ke Sidratul Muntaha, itu terjadi riil melibatkan ruh sekaligus fisik Nabi Muhammad SAW. Penegasan ini tertuang di ayat pertama surah al-Isra’.

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari  Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Isra Mi’raj seakan menyampaikan satu pesan utama bahwa solusi dan jalan keluar niscaya akan datang bagi Muslim yang senantiasa bersabar dan berusaha. Kekuatan doa kuat untuk mendatangkan pertolongan dari Allah SWT. Saat masalah menghadang dakwah Rasulullah, suami Khadijah ini pun tetap tabah dan konsisten. Keimanannya justru mendorongnya agar tetap bertahan dan memohon pertolongankepada-Nya.

Kesabaran itu berbuah manis. Sejumlah petinggi Makkah kala itu memeluk Islam setelah sebelumnya muncul penolakan yang luar biasa dari mereka. Ada As’ad bin Zararah, Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Jabir bin Abdullah, Suwaid bin a-Shamit as-Sya’ir, Iyyas bin Mu’adz, Abu Dzar al-Ghifari, dan at-Thufail bin Amar ad-Dusi.

Isra Mi’raj juga meyakinkan umat akan urgensi lemah lembut dan simpati dalam berdakwah. Tak satu pun kekerasan akan berdampak baik, justru kelembutan dan kebaikanlah yang akan mempercantik suatu urusan, seperti hadis riwayat Aisyah. Bisa saja, Rasulullah mengiyakan tawaran Jibril untuk meluluhlantakkan penduduk Makkah menggunakan sebuah gunung.

Namun, tawaran tersebut mendapat penolakan keras dari Rasul. “Justru, aku berharap akan keluar orang-orang mukmin dari lembah tersebut,” tegas ayahanda dari Fatimah tersebut. Pascaperistwa Isra Mi’raj, satu per satu penggawa Makkah berikrar syahadat, di antaranya Khalid bin al-Walid, Ikrimah bin Abu Jahal, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Abdullah bin Abbas.

“Hadiah” paling istimewa yang diterima Rasulullah dalam peristiwa ini ialah risalah shalat lima waktu. Perintah shalat diterima langsung oleh suami Aisyah RA saat bertemu langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan bukti posisi vital risalah shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuat seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan karif adalah shalat,” demikian sabda Muhammad SAW.

Suatu saat, Umar bin Khatab pernah menulis instruksi kepada para pegawai dan pejabat negara. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang.

Ayahanda Hafshah ini yakin bila shalat seseorang terjaga maka yang bersangkutan tidak akan menelentarkan urusan yang lain. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain shalat,” katanya. Isra Mi’raj mengingatkan kembali dan mempertegas kedudukan vital yang ada para risalah shalat.

Pesan tersirat dari Isra Mi’raj lainnya, yaitu menghayati keagungan dan kebesaran kuasa Allah SWT. Terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah di sepanjang prosesi Isra Mi’raj. Terutama, perjalanan menuju langit ketujuh. Di saat itu pula, Rasul berkesempatan tatap muka dengan Sang Pencipta. “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS an-Najm [53]: 17-18) 
Nashih Nashrullah
Redaktur : Heri Ruslan

Selasa, 30 Desember 2014

Mahkota Segala Raja

Mahkota segala raja merupakan terjemahan dari judul sebuah kitab yang ditulis oleh Bukhari al Jauhari, yaitu Taj al-Salatin atau Tajussalatin. Kitab Tajussalatin berisi pedoman bagaimana seharusnya perilaku dan kewajiban segala raja, menteri, hulubalang, dan rakyat dalam kehidupan bernegara menurut ajaran Islam.
Peneliti Sastra Melayu Klasik, Dr. T. Iskandar, menyebutkan bahwa Bukhari al-Jauhari adalah seorang penulis Melayu keturunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhara. Ia datang ke negeri Melayu sebagai saudagar batu permata. Kitab Tajussalatin selesai ditulis pada tahun 1603, ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Sayyidil al-Mukammil (1588-1604).

Sebagai sebuah karya sastra, Tajussalatin dapat digolongkan ke dalam buku adab; buku yang membicarakan masalah etika, politik, dan pemerintahan. Penulis menguraikan masalah-masalah tersebut melalui kisah-kisah yang begitu menarik. Bahan yang digunakan untuk menulis kitab tersebut diambil dari berbagai sumber, kemudian digubah kembali oleh Bukhari al-Jauhari.

Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam Tajussalatin memberikan pengaruh besar pada pemikiran politik dan tradisi intelektual di dunia Melayu, tidak hanya di Nusantara, melainkan juga di kawasan Asia Tenggara. Bahasan dalam kitab tersebut selalu ditopang oleh ayat Alquran dan hadits. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah dan cerita rakyat, seperti kisah Seribu Satu Malam.

Tema sentral kitab Tajussalatin adalah keadilan. Penulisnya beranggapan bahwa dalam kehidupan sosial, keadilanlah jalan manusia menuju kebenaran. Perihal keadilan suatu yang didambakan oleh umat manusia sepanjang masa, sehingga untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang.

Kitab Tajussalatin ditulis dalam 24 bab. Bab pertama, merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan, yaitu pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Pencipta, dan hakikat hidup di dunia, serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di Bumi dan sebagai hamba-Nya.

Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja, akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya, raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di surga, karena ia menjalankan sesuatu berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Bukhari al-Jauhari tidak hanya memberikan  makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Ia menjelaskan pula tentang kriteria ulil albab yang seharunya dimiliki oleh pemimpin. Pertama, bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, lalu menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila orang itu telah meminta maaf dan bertaubat. Kedua, bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang bermartabat, pandai, dan ilmunya lebih tinggi. Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji. Keempat, membenci perbuatan jahat, fitnah, dan berita yang belum jelas kebenarannya. Kelima, senantiasa menyebut nama Allah, meminta ampun, dan petunjuk kepada-Nya, serta selalu ingat akan kematian dan siksa kubur. Keenam, mengatakan sesuatu hanya yang benar-benar diketahui, serta sesuai dengan tempat dan waktu, yaitu arif dalam menyampaikan sesuatu.

Karena itu, menurut Bukhari al-Jauhari, seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, hifz (memiliki ingatan yang kuat). Kedua, fahm (memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara). Ketiga, fikr (tajam dan luas wawasan). Keempat, iradat (menghendaki kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat). Kelima, nur (menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang).

Dalam pasal ke-5, Bukhari al-Jauhari menambahkan tentang beberapa syarat lagi yang seharusnya dimiliki oleh seorang calon pemimpin, agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. Pertama, seorang pemimpin harus dewasa dan matang dalam segala hal sehingga dapat membedakan yang baik dan buruk bagi diri, masyarakat, dan manusia pada umumnya. Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik, dan agama. Ketiga, pembantu raja yang diangkat harus dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya. Keempat, mempunyai wajah yang baik dan menarik sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik. Kelima, dermawan dan pemurah, tidak kikir, dan bakhil. Keenam, pemimpin yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran serta membalas kebaikan dengan kebaikan. Ketujuh, pemimpin yang baik harus tegas dan berani, terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara. Kedelapan, tidak banyak makan dan tidur, tidak gemar bersenang-senang, dan berfoya-foya. Hal itu dapat membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai pemimpin. Kesembilan, tidak senang bermain perempuan. Kesepuluh, seorang pemimpin yang dipilih sebaiknya dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara.

Pada pasal ke-6, Bukhari al-Jauhari membahas keharusan seorang pemimpin berbuat adil dalam segala hal. Ia mengutip Surat al-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan.” Menurut Bukhari al-Jauhari, sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan, dan niat yang benar. Adapun ihsan mengandung makna adanya kebaikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan, dan pekerjaan. Pemimpin yang adil merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada masyarakat yang beriman. Adapun pemimpin yang zalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang berbuat aniaya.
Bukhari al-Jauhari juga menyebutkan tentang perkara yang menyebabkan sebuah kerajaan runtuh. Pertama, pemimpin tidak memperoleh informasi yang benar dan terperinci tentang keadaan negeri dan hanya menerima pendapat dari satu pihak atau golongan. Kedua, pemimpin melindungi orang jahat. Ketiga, pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebarkan fitnah, dan membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.

Bukhari al-Jauhari ternyata juga seorang penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam kitabnya tersebut, ia selalu menyelipkan kispek (kisah pendek) yang sarat hikmah, puisi yang sederhana, tapi indah dan dalam maknanya. Misalnya, “Jika kulihat dalam tanah ikhwal sekalian insan. Tiadalah dapat kubedakan antara rakyat dan sultan. Fana jua sekalian yang ada, dengan Allah berfirman:  Kawl man ‘alayha fanin, yaitu barang siapa yang di atas bumi lenyap jua”.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada zaman dahulu peranan ulama dalam masyarakat Aceh begitu besar. Ulama begitu besar potensinya dalam mengarahkan kehidupan rakyat agar menjadi lebih baik, baik melalui lisan maupun tulisannya. Namun, potensi ulama yang demikian itu dalam kehidupan sekarang terasa merosot, karena aspek perpolitikan telah ikut merasuk ke dalamnya.

Sudirman
 *Penulis adalah PNS pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut.  E-mail: dirmanaceh@ymail.com

TAN MALAKA DALAM TENGGELAMNYA SEJARAH

13725326371823204066ARIFKI
Sang Revolusioner Pergerakan
Sejarah adalah tengkorak –tengkorak peradaban yang masih punya tempat dalam hati umat manusia, tanpa sejarah umat manusia tidak memiliki ruang untuk mengenang asal-usulnya dan nenek moyangnya. Pedoman sebuah bangsa ketika ia bisa tertanam dalam sejarah nenek moyangnya. Kta ingat bagaimana Persia bisa menjaga kekuatan budaya daerahnya sehingga persia tidak terlalu terpengaruh oleh kekuatan arab yang membuat bangsa yang ada ditimur tengah menjadi bangsa arab. Kekuatan budaya adalah sumber utama dalam menjaga nilai-nilai sejarah dan semangat nasionalisme masa depan.
Apakah kita masih ingat atau lupa siapa bapak Republik kita ?, kita cendrung mengabaikan segalanya dan terbawa dalam sejarah yang terbenam zaman. Bangsa ini telah banyak melupaan sejarah bangsanya, sehinga kapitalisme masuk kenegara ini adalah terlepasnya masyarakat dari sejarahnya. George Orwel mengatakan bahwa untuk menghancurkan sebuah masyarakat adalah dengan melupakan jati diri masyarakat dari sejarahnya. Seorang Pahlawan terbaik bangsa ini, Tan Malaka adalah Bapak pendiri republik ini yang dilahirkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Belum ada data pasti ihwal tanggal kelahiran Tan Malaka. Banyak yang menyebut ia dilahirkan pada 19 Februari 1896, namun ada pula yang merunut bahwa angka lahir Ibrahim Tan Malaka tanggal 2 Juni 1897.
Penulis yang berkunjung kerumah Tan Malaka 27 Juni 2013 menempatkan bahwa bangsa ini tidak memberikan pengenangan yang adil kepada tokoh bangsa ini. Rumah Gadang kediaman Tan Malaka ini memiliki gonjong lima. Sebagian lantai dan dindingnya sudah rapuh. Ketika kaki satu persatu menginjak anak tangga terdengar suara berderik dari sela-sela papan itu. Rumah ini sama dengan rumah gadang lainnya. Ornament khas minang kabau sangat kental menghiasi sekelilingnya. Hanya saja dinding sebelah kiri tidak terbuat dari papan yang mendominasi, tapi dari anyaman bambu yang juga terlihat lusuh. Rumah ini di bangun tahun 1936. Ukurannya kira-kira 18 x 11 meter. Dulunya rumah ini di huni oleh Tan Malaka, salah satu pahlawan nasional yang kontroversial dalam sejarah bangsa Indonesia. Sekarang rumah ini dijadikan rumah baca dan museum Tan Malaka, di Desa Kampuang Patai, Kenagarian Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh. Kabupaten Lima Puluh Kota. Propinsi Sumatera Barat. Begitulah penulis mengambarkan kondisi rumah Tan Malaka itu saat ini.
Tokoh yang terkenal dengan garis pemikiran Madilog ini betul-betul terpencil dari perhatian pemerintah dalam melestarikan sejarah tentangnya. Bukan saja ketika ia hidupia menjadi pejuang dan revolusioner kesepian. Saat ia telah tiadapun Tan Malaka tetap menjadi orang yang ditinggalkan sejarah. Penulis menganggab pemerintah orde baru sangat keji dalam memusnahkan hal-hal yang berbau komunis, kematian masyarakat beberapa generasi akibat keterkaitannya dengan unsur komunis menyebabkan nilai-nilai kemanusian terabaikan secara objektif. Penulis kurang sepakat dengan sebahagian kalangan yang menganggab Tan Malaka adalah komunis, penulis meyakini Tan Malaka adalah tokoh yang berpikir dengan gaya multidimensi bukanlah komunis.
Terkait dengan hubungan Tan Malaka dengan Komunis Internasional adalah sebahagian dari aktifitas Tan Malaka yang ditonjolkan. Kita harus melihat bagaimana Tan Malaka mengkritik sikap tahayul dan mitos warga indonesia dalam beragama. Bagian itu menarik sekali pembahasannya bahwa Tan Malaka adalah tokoh multidimensi. Generasi masa depan jangan terbawa emosi sejarah yang tidak adil dalam memahami track record Tan Malaka. Kita tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa ide pembentukan republik dan merangkai bentuk bangsa ini adalah buah tangan Tan Malaka. Penulispun merasa sedih menggambarkan rumah Tan Malaka saat ini penuh dengan nilai-nilai pelupa yang dibangun bangsa ini terhadap tokoh yang tulisannya menggugah orang yang membacanya.
Haruskah kita abai dengan sejarah bangsa kita, bangsa ini sangat gampang sekali lupa dengan jasa dan makna. Tan Malaka bisa menjadi sumber bagi kita memahami bangsa ini. Tan Malaka sudah berkali-kali mengkritik tentang kapitalisme sebagai sistem yang berbahaya. Namun itu semua tetap saja muncul dan digunakan bangsa ini, kebodohan yang dibenarkan dalam pembuatan kebijakan adalah gambaran bahwa kita tidak pernah bercermin kepada sejarah bangsa ini. Bangsa pelupa adalah bangsa yang menjadi korban –korban kapitalise kedepan.
Ketika Tan Malaka adalah nama jalan, Agus Salim adalah nama Stadion Semen Padang, Pancasila menjadi sampul buku, Soekarno – Hatta adalah bandara dan Garuda itu didadaku. Kebenaran sejarah itu letaknya dimana dalam rangkayan bangsa ini. Tan Malaka begitu asing kita dengan wajahnya, baik itu tokoh kemerdekaan maupun tokoh muda saat ini. Tulisan-tulisan Tan Malaka tentang pergerakan dan memandang bangsa secara intelektual. Mana yang hebat Tan Malaka dalam mengambarkan pemikirannya. Soekarno saja pernah memberikan pengharagaan bahwa Tan Malaka adalah spesial dihatinya, ketika saya berakir dalam perperangan maka Tan Malakalah yang menggantikannya sebagai presiden.
Minangkabau memang banyak melahirkan tokoh-tokoh penting republik ini, Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Muh. Yamin dan Banyak tokoh lainnya lagi. Apakah Minangkabau akan berakhir sebagai industri pemikiran yang melahirkan tokoh-tokoh indonesia masa depan. Kita berharap jangan ada upaya dalam menenggelamkan tokoh-tokoh yang potensial. Bangsa ini akan terus memanen kebodohan sebab tiap hari dipupuk dengan ketergantungan kepada asing. Asing akan terus membuat kita lupa dengan sejarah kita sebagai bangsa yang kaya akan sejarah. Mari bangkit pemikir-pemikir indonesia.
Arifki

Kisah Tauladan: Rasulullah dan Seorang Wanita Yahudi Tua dan Buta


Beberapa hari setelah Rasulullah wafat, Sayidina Abu Bakar Shidiq menjadi khalifah pertama. Dia berusaha memimpin seperti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan ingin sekali menjalankan hidup seperti baginda Nabi.

Untuk bisa mencapai tujuannya Abu Bakar bertanya pada Aisyah, istri Nabi. "Wahai umi amirul mukminin, apa saja kebiasaan Rasulullah semasa hidup selain ibadah yang belum aku kerjakan?".

Aisyah menjawab; "Semua kebiasaan baginda Nabi telah engkau laksanakan kecuali satu hal, setiap hari Baginda Nabi selalu mengambil makanan dari rumah dan makanan itu beliau bawa ke sudut kota Madinah, disana dia menyuapi seorang nenek Yahudi yang tuna netra."

Abu Bakar pun segera mengambil senampan makanan di dalam rumahnya dan pergi ketempat disebutkan Aisyah. Sampai di sana, dia menemukan nenek dimaksud. Namun Abu Bakar tidak habis pikir, mulut perempuan tua itu mengoceh dengan kata-kata menghina dan mencaci Rasulullah.

Awalnya Abu Bakar enggan menyuapi nenek Yahudi itu. Namun dia teringat kata-kata Aisyah, akhirnya dia menghampiri dan menegur perempuan tua itu.

"Wahai nenek diamlah, sesungguhnya Aku akan menyuapimu" kata Abu Bakar. Nenek itu menjawab "Terima kasih, tapi sebelum itu, aku hanya ingin mengingatkan engkau hai orang baik, jika kau mendengar nama Muhammad maka jauhi dia karena sesungguhnya dia adalah pembohong dan pendusta."

Dikutip dari 30 kisah teladan, K.H Abdurrahman Arroisi, kemudian dengan hati-hati Abu Bakar menyuapi nenek buta itu. Setelah dua suapan nenek tersebut menepis tangan Abu Bakar sambil berkata; "Bukan. Sesungguhnya bukan kamu orang biasa setiap hari menyuapi aku. Orang itu sangat lembut dan sopan. Bukan, kau bukanlah orang itu."

Mendengar ucapan nenek itu Abu Bakar menangis dan berkata; "Wahai perempuan tua, sesungguhnya orang yang biasa menyuapimu setiap hari itu sekarang telah tiada karena dia telah wafat beberapa hari lalu. Dialah Muhammad yang selalu engkau caci maki dan kau hina."

Mendengar penuturan Abu Bakar nenek Yahudi itu tersungkur menangis dan menyatakan penyesalannya. Dia akhirnya masuk Islam karena keindahan akhlak Rasulullah.

Syiah Terlarang di Malaysia

larang syiahAnis Malik Thaha – Insists

Malaysia merdeka sebagai sebuah negara yang menjadikan Islam a la Ahlu Sunnah wal-Jamaah sebagai agama resmi negara. Dengan itu, negara berkepentingan memelihara dan melindungi agama Islam dari segala sesuatu yang berpotensi mengancam kesuciannya. Hal ini kemudian dituangkan dalam berbagai kebijakan dan perundangan resmi negara.
Terkait masalah Syi’ah, awalnya, pemerintah Malaysia tampak kurang memberikan perhatian. Mungkin, karena jumlah dan aktivitasnya yang tidak begitu n mengusik ketenteraman kaum Muslim pada umumnya. Namun dari catatan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) – lembaga resmi yang bertanggung jawab terhadap kemajuan Islam di Malaysia — Syi’ah telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Menurut catatan ini, paling tidak di Malaysia terdapat tiga kelompok Syi’ah yang berkembang semenjak beberapa tahun yang lalu:
(1) Syi’ah Taiyibi Bohra. Kelompok ini berasal dari India dan dikenal di Malaysia dengan golongan yang memiliki Kedai Bombay. Kelompok yang berpusat di Lembah Kelang ini mempunyai tanah pekuburan dan masjidnya sendiri dan pengikutnya diperkirakan 200-400-an orang.
(2) Syi’ah Isma’iliyah Agha Khan. Kelompok yang dikenal dengan nama Kedai Peerbhai ini bergerak di sekitar Lembah Kelang juga. Jumlah pengikutnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi bilangannya lebih kecil dari kelompok Bohra.
(3) Syi’ah Ja’fariyah atau Imamiyah Itsna Asyariyah (Imam Dua Belas). Kelompok ini dipercayai mulai bertapak di Malaysia selepas Revolusi Iran tahun 1979. Pengaruh ajaran kelompok ini menular ke berbagai pelosok negara melalui bahan-bahan bacaan dan perorangan, baik yang berkunjung ke Iran atau yang datang dari Iran. Faham ini, kabarnya, semakin berkembang sejalan dengan semakin banyaknya mahasiswa asal Iran yang belajar di Malaysia.
Karena dinilai bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal-Jamaah, pemerintah Malaysia menetapkan serangkaian kebijakan. Diantaranya, Enakmen Pentadbiran Perundangan Islam Negeri Selangor 1989, berkenaan warta pengharaman Syi’ah. Seksyen 31(1) dan Seksyen 32 Enakmen ini menyatakan: “Mana-mana orang Islam adalah dilarang berpegang kepada ajaran-ajaran dan fahaman tersebut (Syi’ah), kerana ia bertentangan dengan pegangan AhliSunnah Wal Jamaah. Larangan ini meliputi: untuk mengajar, mengamalkan berpegang kepada atau menyebarkan ajaran-ajaran atau fahaman-fahaman yang terkandung di dalam ajaran dan fahaman Syi’ah kecuali untuk amalan individu itu sendiri.”
Ketetapan Negeri Selangor itu kemudian disusul dengan warta pengharaman Syi’ah, Seksyen 34 – Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam (Wilayah – Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur), 1993, yang menetapkan bahwa: “Semua umat Islam warga Negara ini (Malaysia) adalah tertakluk kepada undang-undang Islam dan Hukum syarak yang berasaskan pegangan kepada ajaran AhliSunnahWal-Jama’ah sahaja.
Setelah itu, masih disusul lagi dengan Keputusan Jawatan Kuasa (Komite) Fatwa Kebangsaan (Malaysia) pada tahun 1996, tentang pengharaman ajaran-ajaran selain Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Tapi, serangkaian peraturan resmi negara tersebut tidak membuat kaum Syiah di Malaysia menghentikan penyebaran ajarannya. Apalagi, berbagai iklim kebebasan yang dipicu perkembangan politik global, seringkali memaksa Negara-negara Muslim untuk memberikan kebebasan terhadap aliran dan paham apa pun. (lihat: Angel M. Rabasa, U.S. Strategy in the Muslim WorldAfter 9/11(California: RAND, 2004).
Di Malaysia, kaum Syi’ah juga memanfaatkan iklim kebebasan itu untuk menyuarakan dan menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Itu bisa dilihat dalam sejumlah penerbitan Syiah di Malaysia, seperti: (i)Meniti Titian Kebenaran (Menyingkap Kebenaran Ilahi); (ii) Inilah Khulafa Ar-Rasyidin; (iii)Akhirnya Ku Temui Kebenaran; (iv) Dialog Mengenai Islam dan Akidah Islam yang Sebenar; dan lain-lain.
Itu juga terlihat dari aktivitas-aktivitas keagamaan kaum Syi’ah, termasuk prosesi Asyura yang cukup menonjol, sehingga pada 2011 yang lalu JAIS (Jabatan Agama Islam Selangor) bersama dengan aparat keamanan PDRM (Polisi Di Raja Malaysia) menggerebek sebuah markaz Syi’ah di Taman Sri Gombak, Selangor, dan menahan semua anggota kelompok ini yang sedang memperingati sebuah hari penting bagi kaum Syiah.
Kasus ini akhirnya berkembang menjadi isu yang cukup serius, sampai Parlemen Malaysia akhirnya pada 9 Maret 2011 memanggil pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait, seperti Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, dan Menteri di Jabatan Perdana Menteri untuk memberikan keterangan. Dalam penjelasannya, Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Dato’ Seri Jamil Khir, menyatakan, bahwa tindakan pemerintah terhadap Syiah mengacu pada keputusan Jawatan Kuasa Fatwa Kebangsaan pada 1996 dan undang-undang pengharaman Syiah sebelumnya.
Akhirnya Parlemen Malaysia menyetujui keputusan: (1) Menetapkan bahwa umat Islam di Malaysia hendaklah hanya mengikut ajaran Islam yang berasaskan pegangan Ahlu Sunnah wal- Jamaah dari segi akidah, syariah dan akhlak. (2) Bahwa ajaran Islam yang lain dari pada pegangan Ahlu Sunnah wal-Jamaah adalah bertentangan dengan Hukum Syara’ dan Undang-Undang Islam. Dengan demikian, penyebaran ajaran yang lain dari pada pegangan Ahli Sunnah wal-Jamaah adalah dilarang.
Itulah keputusan Malaysia. Wallahu a’lam bil-shawab.

Ditemukan 'tikus' di planet Mars

Curiosity temukan 'tikus' di planet Mars
Tugas Curiosity, robot yang ditugaskan di Mars, memang akan berakhir sekitar beberapa bulan lagi. Kali ini, dalam penjelajahannya, kabarnya Curiosity temukan bukti keberadaan makhluk hidup di planet merah tersebut.

Curiosity kembali kirimkan foto terbaru ke badan pengawasnya di bumi. Dalam foto tersebut, ada sebuah obyek aneh yang terabadikan secara tidak sengaja. Para peneliti mengatakan bahwa obyek tersebut mirip sebuah tikus.

"Obyek itu memiliki warna yang hampir mirip dengan batu-batuan di sekitarnya namun sedikit lebih gelap. Ada mata, cekungan pada mata, hidung, telinga, dahi, badan yang memanjang serta tangan atau kaki depan," jelas pihak NASA seperti dikutip Fox New (29/05).

Namun, ketika NASA mengungkapkan temuan baru ini, beberapa pakar berikan opini bahwa boleh jadi memang obyek itu adalah tikus, namun tidak menutup kemungkinan hanyalah sebuah batu yang mirip hewan itu saja.

"Pengidentifikasian dengan memiripkan suatu obyek ke obyek lain adalah suatu fenomena yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan pareidolia," jelas ilmuwan lain.

Sebelum ini, fenomena pareidolia terhadap obyek-obyek di Mars juga sering muncul dan menjadi perbincangan, seperti contohnya gambar wajah, jari jempol, tengkorak alien sampai dengan obyek berkilat.

Oleh karenanya, tidak sedikit pakar yang menyarankan agar NASA tidak terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu sebelum melakukan penelitian lebih lanjut.

Isra’ dan Mi’raj Nabi

Ada empat bulan yang dimuliakan oleh Allah, tiga darinya( Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram) disebutkan berurutan dan satu bulan (Rajab) tersendiri. Pada bulan ini ada peristiwa besar dalam sejarah kenabian Muhammad Saw. Dunia Islam menyebutnya sebagai hari besar “Isra’ dan Mi’raj”. Isra adalah perjalanan malam Nabi dari Masjid al-Haram di kota suci Makkah ke masjid al-Aqsha di Yarussalem, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari Masjid al-Aqsha menuju puncak cakrawala. Ibnu Ishaq, dalam Sirahnya menggambarkan peristiwa Mi’raj Nabi itu dengan kata-kata yang menggetarkan hati :
Nabi bertuturkata : “Setelah aku melakukan apa yang perlu aku lakukan di Yarussalem, aku dibawakan sebuah tangga dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah selain itu. Itulah sesuatu yang menjadi pandangan orang-orang mati pada Hari Kebangkitan. Sahabatku, Jibril, membuatku dapat memanjat sampai kami mencapai salah satu gerbang langit yang disebut Gerbang Garda. Di sana 1.200 Malaikat bertindak sebagai pengawal”.
Peristiwa ini telah berabad-abad lamanya diperingati sebagai hari bersejarah di berbagai belahan dunia muslim dengan beragam acara ritualistik. Di Indonesia, Isra’-Mi’raj disambut dengan suka-cita, seperti hari-hari besar Islam yang lain. Setiap jatuh tanggal 27 Rajab, kaum muslim, memperingatinya dengan membaca kisah-kisah Nabi dalam al-Barzanji, dan nyanyian-nyanyian sanjungan kepada manusia agung ini. Ia juga dirayakan di masjid-masjid, pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat yang lain. Di Turki, malam Mi’raj diperlakukan sama dengan malam kelahiran Nabi. Di masjid-majid lampu-lampu yang dibungkus ornamen-ornamen kaligrafis yang indah dinyalakan, malam menjadi terang benderang. Anak-anak yang lahir malam itu seakan-akan memperoleh berkah. Orang tua mereka memberikan nama Mi’raj al-Din, Mi’raj Muhammad dan lain-lain. Di Kasymir, India, Isra’-Mi’raj disambut dengan nyanyian rakyat (folklor) yang berisi ucapan selamat datang dan penghormatan kepada Nabi yang selalu dirindui.
Dalam peristiwa itu, di Masjid al-Aqsha Nabi menjadi Imam para Nabi. Di Sidrah al-Muntaha Nabi bertemu Tuhan. Dia begitu dekat : “Qaba Qauwaini aw Adna”. Ini menggambarkan hubungan Dualitas Tuhan dan Nabi yang saling menatap dengan cinta dalam jarak yang sangat dekat. Nabi melihat-Nya tanpa tabir, mungkin bagai dipisahkan oleh kaca tembus pandang. Hati Nabi mengharu biru, jiwanya seakan hilang lenyap di hadapan Sang Maha Agung dan Maha Indah (dzu al Jalal wa al Jamal). Pertemuan yang sangat mendebarkan sekaligus mengesankan itu membuat beliau enggan kembali ke bumi. Tetapi, beliau ingat sekali, umat manusia di bumi menanti kehadirannya. Beliau menyayangi ummatnya lebih dari yang lain dan untuk itulah beliau diutus Tuhan, Rasulullah. Maka Nabi meminta apa yang bisa dilakukan oleh dirinya dan ummatnya jika ingin menjumpai dalam keintiman bersama Tuhan.
Namun sayangnya, di mata mayoritas umat islam, peristiwa Isra’ Mi’raj dipandang sebagai peristiwa spektakuler yang kejadiannya ditujukan untuk membuktikan eksistensi Muhammad sebagai seorang nabi atas kekuasaan Allah. Agaknya makna inilah yang sering ditonjolkan dalam hampir setiap peringatan, dan selalu diulang-ulang. Menurut hemat penulis, menonjolkan dimensi makna Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat kenabian semata hanya akan berujung pada persoalan metafisis, tidak pernah menyentuh makna di balik apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat tempat beliau berdakwah, sehingga pesan sosial dan signifikansinya bagi kehidupan sosial hilang. Sampai sini, kemudian peristiwa tersebut menjadi a historis: cerita tentangnya diulang terus-menerus seolah-olah peristiwa itu terjadi di luar poros sejarah kemanusiaan.
Membaca pesan sosial dari peristiwa Isra’ Mi’raj, kita musti tidak dapat melepaskannya dari konteks sosial masyarakat Arab saat itu. Karena konteks inilah yang menjadi –dengan meminjam istilah Immanuel Kant— syarat-syarat kemungkinan (condition of possibility) terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Tanpa kondisi sosial peristiwa tersebut tidak memiliki arti apa-apa dan mungkin tidak akan terjadi. Realitas (masyarakat Arab) yang berada di luar kejadian peristiwa inilah yang menjadikan kita dapat mencerna dan memahami rasionalitas makna peristiwa itu. Sudah maklum, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada saat nabi berdakwah di kota Makkah. Dalam catatan sejarah islam dinyatakan, bahwa kota Makkah pada saat nabi Muhammad Saw mendakwahkan risalah Tuhan (Islam) merupakan pusat kota perdagangan sekaligus pusat tempat sesembahan masyarakat Arab. Sebelum menjadi kiblat umat Islam, bangunan Ka’bah menjadi gudang patung sesembahan masyarakat Arab dari segala penjuru jazirah, lebih-lebih kaum kafir-Quraisy. Lebih dari seratus buah patung, berikut jenis dan bentuknya, ada di dalam Ka’bah dan sekitarnya. Di halaman Ka’bah itu pula berbagai macam patung sesembahan diperjualbelikan.
Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Muhammad Abed Aljabiri (1989) berpendapat bahwa dakwah nabi Muhammad Saw. dengan “semboyan” dakwah la ilaha illa Alloh-nya tentu saja mempunyai dampak ekonomis. Dikatakan demikian, karena menerima semboyan dakwah tersebut berarti harus siap menjauhi dan melepaskan diri dari praktek penyembahan terhadap patung. Semakin banyak orang yang menerima dakwah nabi, maka semakin banyak orang yang meninggalkan penyembahan terhadap patung. Sebagai konsekwensi dari semakin berkurangnya orang yang tertarik pada patung semsembahan adalah sedikitnya mereka yang membeli patung, dan ini tentu akan mengurangi omset penjualan. Di sini dakwah nabi tentu saja akan dapat mengancam kepentingan para penjual patung. Atas dasar pertimbangan itulah, dakwah nabi Muhammad Saw tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk kota Makkah saat itu, bahkan malah mendapat tekanan keras dari kalangan tokoh Quraisy semisal Abu Jahal dan Abu Lahab, karena dapat mengancam kepentingan mereka.
Seiring dengan itu, lahir kelompok masyarakat elit (superior). Kelas ini diwakili oleh para tuan tanah, pemilik perkebunan di daerah Hijaz dan sekitarnya, pemilik modal, properti, dan bentuk kapital yang lain. Kelas kepentingan ini dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan shanadid al-Quraisy atau aristokrat Quraisy (Khalil Abdul Kariem, 1993). Kelas shonadid al-Quraisy (kelas masyarakat superior) memainkan peran penting di tengah masyarakat dalam menentukan kebijakan publik.
Mencermati situasi sosial masyarakat Arab seperti itu, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat dibilang hadir sebagai simbol perlawanan kultural (counter of culture) atas menggejalanya budaya yang serba materialis-hedonis. Gejala ini dapat dilihat pada penuhanan dan penjualan patung. Melanggengkan penyembahan patung tidak lain adalah mempertahankan kepentingan individu tertentu untuk menguasai sentra perdagangan: memperkaya diri dengan harta yang bergelimang untuk dapat memainkan kebijakan publik. Siapa yang kaya itulah yang akan dijunjung dan dihormati, bahkan didengar petuahnya oleh masyarakat. Dengan kekayaan melimpah segala yang menjadi keinginannya dapat terpenuhi. Inilah hukum yang berlaku di tengah masyarakat Arab saat itu. Budaya materialis-hedonis hanya mengantarkan seseorang pada realitas yang mati, kering, dan kaku, karena segala yang ada di sekitarnya selalu diukur dengan materi, tidak lebih dari itu. Spiritualitas dan mentalitas mereka pun serba materialistik. Ini yang menyebabkan nurani mereka tumpul, dan sensibilitas nurani kemanusiaannya mati kutu, sehingga mereka cuek atas segala problem kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Untuk menyembuhkan spiritualitas dan mentalitas yang serba materialis-hedonis itu, diperlukan sebuah terapi spiritual. Barangkali meminjam istilah ilmu Psikologi, spiritual healing (penyembuhan spiritual). Terapi ini berguna untuk mengembalikan dan membangun kembali kesadaran nurani kemanusiaan yang telah mati tertimbun puing-puing materi dan kekayaan. Setidaknya, hasil lawatan nabi dalam Isra’ Mi’raj adalah perintah melakukan sholat lima waktu. Dan terapi spiritual itulah dapat dibilang sebagai salah satu manfaat dan fungsi dari ritual sholat itu. Jalaluddin Rumi, sufi dan penyair muslim terbesar merumuskan rahasia shalat dalam puisinya yang terkenal :
Shalatnya tubuh, terbatas
Shalatnya ruh, tak terbatas
Ia tenggelam dan tak sadarnya ruh
Hingga segenap bentuk tetap berada di luar
Ketika itu tak ada lagi ruang yang memisahkan
Meski bagi Jibril sang ruh suci itu

Ketika Nabi gundah-gulana, beliau meminta Bilal bin Rabah, si kulit hitam (budak-belian Etiopia) dengan suaranya yang merdu, mengumandangkan azan. Nabi memuji keindahan suaranya dan menghargainya seperti ia menghargai para sahabat dan siapapun manusia di bumi ini. Beliau selalu mengutus Bilal untuk beradzan dengan berucap: ya Bilal, arihna bi ash-sholah (wahai bilal, istirahatkan/enakkan diriku dengan sholat). Di lain kesempatan Nabi juga bersabda : “Ju’ilat Qurratu ‘Aini fi al shalah” (mataku dijadikan Tuhan berbinar-binar ketika aku shalat).
Kapanpun beliau mendambakan untuk kembali ke hadirat Ilahi dan meninggalkan ruang dan waktu dunia yang pengap, beliau segera bergegas shalat, khusyu, kontempelatif dan keintiman yang mengharu-biru. Lalu segalanya menjadi damai, tenang dan sumringah. Betapa indahnya.
Seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf yang sangat wara dan sangat khusyuk sholatnya selalu khawatir jika ibadahnya kurang khusyuk dan selalu meminta komentar kepada orang yang lebih ahli dalam beribadah atas shalatnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu merasakan kekurang khusyukan dalam beribadah.
Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Isam dan bertanya : “Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?, Hatim berkata : Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu’ zahir dan batin.” Kemudian Isam bertanya, “Bagaimana wudhu’ zahir dan batin itu?”
Hatim berkata, “Wudhu’ zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu’ dengan air. Sementara wudhu’ batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :
1. Bertaubat
2. Menyesali dosa yang dilakukan
3. Tidak tergila-gilakan dunia
4. Tidak mencari / mengharap pujian orang (riya’)
5. Tinggalkan sifat berbangga
6. Tinggalkan sifat khianat dan menipu
7. Meninggalkan sifat dengki,
Kemudian aku pergi ke masjid, aku bersiap shalat dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian ‘Sirratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhirku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam shalat ku fahami maknanya, kemudian aku ruku’ dan sujud dengan tawadhu’, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bershalat selama 30 tahun.” Tatkala Isam mendengar, menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.
Akhirnya, dengan peringatan isra’ mi’raj ini mari kita menghadirkan dan mengendapkannya dalam lubuk terdalam untuk selalu memperbaharui mentalitas, spiritualitas, dan kesadaran kita akan segala persoalan kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, salahsatunya dengan cara menjaga untuk selalu mendirikan oleh-oleh Nabi yakni sholat lima waktu. Tidak menutup kemungkinan mentalitas dan kesadaran kita sudah tercemari oleh budaya materialais-hedonis sehingga kita tidak dapat keluar dari krisis kemanusiaan yang berkepanjangan sebagaimana yang dapat kita saksiakan di negeri ini.
*Materi disampaikan pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi SAW di Pesantren Al-Rosyid 30/05/2013

Udin A

Kudeta Mekkah tahun 1979

Subuh, 20 November 1979, 1 Muharam 1400. Waktu menunjukkan pukul 5:18 pagi di Masjid al-Haram. Sholat subuh baru saja selesai. Di muka 50.000 jamaah, Sheikh Mohammed al-Subayil, menutup doa dengan harapan akan kedamaian, tiba-tiba senjata menyalak. Gelegar suara letusan menggema di seluruh ruangan masjid. Para jamaah panik menyaksikan seorang pemuda menggenggam senjata, melangkah menuju Ka’bah. Sementara yang lainnya menembaki merpati yang biasa bergerombol di atas bangunan di luar Masjid al-Haram. Dua orang polisi masjid ditembak mati dekat tembok.
Di tengah keributan dan kepanikan, pemimpin pemberontak, Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi muncul diapit oleh tiga militan bersenjata. Dia adalah seorang khatib Badui berusia 43 tahun, dengan mata hitam, rambut sebahu, dan janggut hitam berombak. Memakai jubah tradisional Saudi berwarna putih yang dipotong pendek di pertengahan kaki, sebagai simbol penolakan terhadap kekayaan materi.
Juhayman berjalan maju mendekati Ka’bah, mendorong sang ulama, mengancamnya dengan senjata, merebut mikrofon dan mengumumkan, bahwa Imam Mahdi telah datang, sekarang menduduki Masjid al-Haram. Imam Mahdi itu bernama Muhammad Abdullah bin al-Qahtani.
Dengan mengangkat sandal dan sepatu, ribuan orang berlarian ke arah tembok pagar. Jamaah menyerukan Allahu Akbar. Namun pemberontak juga menyerukan Allahu Akbar, sambil menghalangi semua jalan keluar. Situasi saat itu sangat riuh dan penuh kepanikan. Tatkala suara gemuruh menyurut, Juhayman meneriakkan seruan militer kepada anak buahnya. Kontan, anak buahnya yang sudah terlatih membelah kerumunan, memasang senapan mesin di puncak tujuh menara tempat suci itu. Jemaah yang tertangkap dipaksa membantu dengan todongan pistol. Proses pengambil alihan tempat tersuci umat Islam itu berlangsung cepat dan sempurna. Penembak jitu bersiaga di menara. Jumlah para pemberontak diperkirakan sekitar 500 orang. Perintah menembak diberikan oleh Juhayman kepada para sniper.
Sementara itu pengeras suara masjid digunakan untuk mengumumkan pesan para pemberontak ke kota Mekkah, bahwa ramalan telah terpenuhi, Imam Mahdi telah datang, sesekali diselingi suara tembakan.
Saat itu, masjid sedang dalam renovasi yang dikerjakan oleh kontraktor Binladin Group. Seorang karyawan perusahaan tersebut berhasil menelepon ke kantornya sebelum pemberontak memutuskan jaringan telepon. Representatif dari Binladin group lah yang kemudian menginformasikannya pada Raja Khalid.
Segera setelah serangan tersebut, kira-kira seratus petugas keamanan mencoba mengambil alih masjid, namun mereka harus mundur karena sniper menembaki mereka. Sore harinya, seluruh Mekkah dievakuasi. Berbekal persetujuan para ulama, angkatan bersenjata Saudi meluncurkan serangan ke tiga gerbang mesjid. Namun mereka tidak dapat mendekat, karena sniper yang ditempatkan oleh pemberontak terus menembaki.
Unit komando tentara Pakistan (SSG), tiga unit komando Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) dari Perancis, pasukan Amerika dan CIA diperbantukan untuk melawan pemberontak atas permintaan pemerintah Arab Saudi. Karena area ini adalah area terlarang bagi non muslim, maka dengan segera pasukan masuk Islam terlebih dahulu melalui proses keagamaan yang sah. Mereka membombardir masjid. Pertikaian berlangsung selama dua minggu hingga akhirnya pemberontak menyerah.
1369887093649040157
Pemboman Masjid al-Haram. Sumber: global-security-news.com
Sebanyak 255 jemaah haji , pemberontak dan tentara tewas, 560 luka-luka. Di antara yang tewas terdapat Muhammad Abdullah bin al-Qahtani, sang imam mahdi palsu. Sekalipun para diplomat menyebutkan, kemungkinan korban yang jatuh lebih banyak dari itu. Dari sisi tentara Saudi Arabia, sebanyak 127 tewas dan 451 orang luka.
Pada tanggal 9 Januari 1980, 63 pemberontak dipancung di 8 kota termasuk Mekkah. Diantara mereka, 41 warga Saudi, 10 warga Mesir, 7 warga Yaman, 3 warga Kuwait, 1 warga Irak, dan 1 warga Sudan, 2 warga Amerika, warga Jordan dan warga Somalia. Di antara mereka terdapat Juhayman al-Otaibi.
Investigasi pasca serangan ini, diketahui bahwa serangan ini berhubungan dengan kelompok Takfir Wal Hijra atau disebut juga kelompok Jama’at al-Muslimin di Mesir.
Video penyerangan dapat dilihat DISINI
.
Siapakah Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi?
13698872651861110124
Gambar: Wikipedia
Serangan ini dipimpin oleh Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi. Dia tinggal di Hara Syarqiya dekat Madina. Seorang khatib berusia 43 tahun saat penyerangan terjadi. Ayah Juhayman adalah seorang anggota ikhwan dari keluarga Badui Najd. Pada jaman dahulu, kaum Badui Najd dikenal ahli dalam berperang untuk kerajaan, dengan kebiasaannya menyembelih perut ibu-ibu hamil serta membuang janinnya di atas mayat-mayat.
Juhayman adalah mantan anggota Saudi National Guard yang selama 18 tahun karirnya tetap berpangkat kopral. Murid Sheikh Abdel Aziz al Baaz seorang ulama terkemuka Saudi Arabia yang mengajarkan bahwa merokok adalah dosa, menolak TV, melarang pemasangan protret Raja di dinding, melarang toko pemangkas rambut, dan melarang bertepuk tangan karena menyerupai perilaku orang barat.
Juhayman sendiri menyebarkan ajakan untuk kembali ke jalan Islam yang murni, mengajarkan kebencian terhadap kafir, kaum Syiah dan pemasangan potret Raja di dinding, menolak Barat, pengusiran non muslim, menghentikan pendidikan bagi perempuan, serta penghapusan televisi yang menyebabkan anak muda Arab lebih menyukai gaya Steve Austin dalam film Six Million Dollar Man daripada mendedikasikan hidupnya pada Islam.
Juhayman mengharamkan Kesultanan Arab, karena menurut kitab suci, pemimpin harus memiliki 3 syarat: seorang muslim, suku al-Quraisy (suku yang melahirkan nabi Muhammad), dan menerapkan ajaran agama. Serta mengklaim, bahwa kekuasaan keluarga Al Saud telah kehilangan legitimasinya, karena korupsi, hidup mewah dan menghancurkan budaya Saudi dengan memasukkan budaya Barat.
Juhayman menulis buku berjudul “Tujuh Risalah”, setebal 170 halaman. Melalui buku itu, pemikiran Juhayman berkembang di Mesir. Kebangkitan agama ditandai dengan menumbuhkan jenggot, mengenakan jilbab, pemisahan tegas antara pria dan wanita, larangan pertunjukan seni dan larangan budaya sekuler.
Melalui mimpi, Juhayman percaya bahwa Muhammad Abdullah bin al-Qahtani, saudara iparnya, adalah Imam Mahdi yang dinantikan.
.
Sumber:
- Wikipedia, Grand Mosque Seizure
- Encyclopedia, Grand Mosque Seizure
- Middleeast Issues
- Remembering 1979 Seige Holy Kaaba
- The Siege of Mecca Sourcebook
- Kudeta Mekkah, karangan Yaroslav Trofimov
.
- Esther Wijayanti -